Untuk jumlah populasi yang dimiliki, Indonesia sangat kekurangan praktisi kesehatan mental. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki populasi 260 juta tapi hanya terdapat 773 psikiater dan 451 psikolog klinis.
Pada 2008, pemerintah mulai mengakui psikolog sebagai pekerja kesehatan. Tapi penempatan seorang psikolog di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), di Indonesia belum dianggap penting, berbeda dengan penempatan dokter, perawat, bidan, ahli gizi dan ahli sanitasi.
Jarang sekali ada upaya untuk menyediakan psikolog di Puskesmas. Kota Yogyakarta telah berhasil menempatkan seorang psikolog di seluruh 18 puskesmas sejak 2010. Namun tidak ada kota lain yang memiliki kebijakan serupa.
Gangguan kesehatan mental di Indonesia
Gangguan kesehatan mental sering tersembunyi dari pandangan. Gambaran yang umum dimiliki orang mengenai gangguan mental adalah tunawisma telanjang di jalan. Tapi sesungguhnya gangguan mental memiliki spektrum yang luas.
Ada stigma seputar gangguan mental. Dalam masyarakat umum ini muncul dalam bentuk stereotip dan prasangka serta diskriminasi terhadap orang-orang dengan penyakit mental. Orang-orang dengan masalah kesehatan mental sering dianggap berbahaya, kerasukan setan atau dipengaruhi oleh ilmu hitam.
Ketakutan ini membuat mereka dijauhkan dari masyarakat. Akibatnya, pada 2017, 28,1% orang dengan penyakit mental masih dipasung atau terbelenggu di dalam atau di sekitar rumah mereka. Stigma terhadap diri sendiri menyebabkan penderita menentang kondisinya sendiri, menghalangi mereka dan keluarga mereka mencari pertolongan sejak dini dan karena itu juga mencegah mereka menerima perawatan dan perawatan yang tepat.
Korban bencana juga sangat rentan terhadap masalah kesehatan mental. Indonesia terletak di wilayah yang rawan gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi sehingga banyak orang menjadi korban bencana. Mereka membutuhkan dukungan psikologis untuk melewati masa-masa sulit kehilangan orang yang mereka cintai, barang-barang mereka dan rasa takut akan bencana di masa depan.
Masalah kesehatan mental lainnya, yang jarang sekali ditangani di Indonesia, adalah depresi peripartum, terjadi selama kehamilan dan setelah melahirkan. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa di negara berkembang 15,6% perempuan hamil dan 19,8% perempuan menyusui mengalami kondisi ini).
Depresi tidak hanya yang bisa mendorong tindakan bunuh diri tapi juga mengurangi kemampuan ibu untuk merawat anak-anak mereka. Mengingat bahwa negara ini berfokus pada upaya menurunkan angka stunting (anak pendek), mendeteksi depresi peripartum dan membantu ibu mencari pengobatan dapat membantu mereka membesarkan anak-anak yang sehat dan cerdas.
Masalah kesehatan mental terjadi pada orang-orang dari segala usia. Gangguan mental lazim di kalangan anak muda, karena ini adalah waktu ketika orang-orang menghadapi banyak transisi yang berbeda dalam hidup. Hari Kesehatan Mental WHO 2018 Dunia (10 Oktober) mengakui ini dengan membuat tema tahun ini “Kaum Muda dan Kesehatan Mental dalam Dunia yang Terus Berubah”.
Tapi masalah mental juga mempengaruhi populasi paruh baya. Sebuah survei nasional pada 2013 menunjukkan proporsi masalah mental dan emosional meningkat seiring bertambahnya usia. Masalah juga umum di antara orang miskin
Melatih kader kesehatan untuk mendeteksi depresi pada ibu
Untuk membantu mengatasi masalah kesehatan mental di antara para ibu, kami melakukan sebuah proyek yang disebut Kenal Ibu di Banyuwangi dan Banda Aceh. Proyek ini mencoba membantu kader kesehatan dan bidan mendeteksi ibu hamil dan menyusui dengan depresi menggunakan alat skrining yang disesuaikan dengan budaya setempat.
Kami mengembangkan modul pelatihan dan melatih 103 petugas kesehatan di Banyuwangi dan Banda Aceh, yang terdiri dari kader kesehatan, bidan, dan perawat kesehatan mental. Setelah pelatihan, kader kesehatan dapat menggunakan alat untuk mendeteksi ibu yang punya masalah kesehatan mental dan merujuk mereka ke bidan atau perawat kesehatan mental untuk tes dan konseling lebih lanjut.
Para kader kesehatan di desa dan para ibu di desa mengatakan bahwa belajar tentang alat skrining dan menggunakannya membuat mereka mampu mengidentifikasi masalah yang tidak mereka sadari di masa lalu.
Seorang bidan menyebutkan bahwa ia pernah memiliki seorang pasien, seorang ibu baru melahirkan dengan masalah perilaku tidak dapat merasakan cinta untuk bayinya yang baru lahir. Bidan tidak tahu bagaimana caranya membantu. Dia tidak tahu bahwa pasiennya menderita depresi. Ruang lingkup pekerjaan yang dia pahami hanya untuk memastikan bahwa ibu dan anak-anak sehat secara fisik.
Tapi setelah pelatihan dan implementasi lapangan, bidan sekarang dapat mengidentifikasi perempuan dengan potensi masalah. Dia sekarang dapat menyebutkan namanya dan mengetahui bahwa para perempuan ini membutuhkan bantuan lebih lanjut dari para profesional.
Peran pemerintah
Sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam The Lancet oleh Nafsiah Mboi melaporkan bahwa jumlah tahun orang menderita sakit atau cacat (DALY) untuk penyakit tidak menular termasuk gangguan kesehatan mental telah meningkat. DALY untuk gangguan depresi naik 37,5% dari 1990 hingga 2006 dan terus meningkat sebesar 19,8% dari 2006 hingga 2016. Hal ini membuat gangguan mental nomor 19 penyebab utama kecacatan pada 2016, naik dari nomor 29 pada 1990.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang masalah kesehatan mental, Kementerian Kesehatan telah menyediakan konten online dan aplikasi berbasis Android Sehat Jiwa yang dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai masalah kesehatan mental. Aplikasi ini memiliki lebih dari 1.000 pengguna hingga saat ini.
Alat skrining tersedia untuk membantu praktisi kesehatan dan individu untuk mendeteksi masalah kesehatan mental. Tapi Indonesia masih perlu merujuk mereka yang didiagnosis dengan masalah kesehatan mental untuk pengobatan.
Diperkirakan bahwa 76-85% orang dengan gangguan kesehatan mental di negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak menerima perawatan. Secara global, hanya ada sembilan pekerja kesehatan mental per 100,000 orang. Diperkirakan Indonesia membutuhkan 7.500 pekerja kesehatan mental agar dapat menyediakan layanan psikiatri yang cukup untuk penduduknya.
Jika Indonesia serius dalam menjamin populasi 260 juta orang sehat dan tahan terhadap bencana, bangsa ini harus mulai berinvestasi dalam kesehatan mental. Hal ini dapat dilakukan dengan memastikan setiap Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) telah melatih staf untuk mendeteksi dan merawat orang dengan gangguan kesehatan mental.
Artikel ini diterjemahkan oleh Gracesillya Febriyani.
Susy K. Sebayang, Researcher of Public Health, Universitas Airlangga; Marty Mawarpury, Lecture of Psychology, Universitas Syiah Kuala, dan Rizanna Rosemary, PhD Candidate, University of Sydney
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.