Pilkada 2020, Menyerahkan Suara ataukah Raga

RANGKAIAN proses pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah dimulai. Sejak 4 September lalu, para kandidat melakukan pendaftaran. Tantangan pun semakin terbuka karena pilkada dilaksanakan pada saat pandemi Covid-19. Situasi yang tidak menguntungkan bagi pemilih dan peserta pemilu.
Tahapan krusial akan terjadi pada masa kampanye yang menghadirkan banyak orang. Jumlahnya bisa ratusan hingga ribuan pendukung calon kepala daerah. Hal itu sangat membahayakan.
Membaca berita di Jawa Pos beberapa hari lalu tentang izin KPU untuk kegiatan kampanye pilkada berupa konser musik dan lain-lain, hal itu bukanlah hal yang benar. Tetap berisiko meski diberlakukan pembatasan maksimal 100 orang plus syarat mematuhi protokol kesehatan.
Mengutip Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Pilkada di Masa Pandemi, sejumlah kegiatan masal masih diperbolehkan. Misalnya, pentas seni, panen raya, jalan santai, sepeda santai, dan konser musik. Kegiatan yang mengundang massa besar tersebut, meski sudah dibatasi, tetap tidak dibenarkan pada masa pandemi seperti ini.
Pertanyaan mendasar adalah apakah calon, pendukung calon, bahkan penyelenggara pilkada di daerah bisa mematuhi protokol kesehatan?
Perlu diingat, pilkada 2020 akan digelar di 270 daerah dengan berbagai kondisi dan kesadaran masyarakat yang berbeda. Fakta lain, pandemi Covid-19 yang telah berlangsung lebih dari setengah tahun ternyata belum dipahami. Lebih tepatnya, sebagian masyarakat tidak mau memahami bahwa pandemi Covid-19 memang ada. Yang juga patut disesalkan, ketidakpahaman itu terjadi pada struktur penyelenggara pemilu.
Hingga tulisan ini disusun, kasus Covid-19 di Indonesia telah meningkat lebih dari 100 kali sejak awal Maret lalu. Dan setiap hari, kasusnya meningkat lebih dari 1.500 kali. Sebuah angka yang sangat fantastis.
Data tersebut menunjukkan bahwa Covid-19 sangat mudah menular. Penyakit yang disebarkan virus itu menyebar seiring dengan ke mana manusia bermobilisasi. Hal itu dibuktikan dengan klaster-klaster yang ada. Enam bulan lalu, penyakit itu hanya ada di Depok, tapi sampai saat ini sudah berada di semua provinsi dan hampir semua kabupaten kota. Mobilitas (mobility) orang menjadi kunci kecepatan persebarannya.
Belajar dari kasus di pondok pesantren, kerumunan (crowded places) menjadi kunci persebaran. Pada kerumunan, keberadaan orang dalam jarak yang dekat (closed contact) dan keberadaan orang pada ruang tertutup (closed space) menjadi ’’katalis” yang mempercepat penularan.
Mengapa hal itu terjadi? Covid-19 bisa menular melalui percikan air yang keluar pada saat si penderita berbicara, batuk, maupun bersin (droplet infection). Saat berbicara, percikan paling jauh 1 meter, sedangkan saat batuk atau bersin bisa sampai 6 meter. Maka, jarak aman bertemu orang minimal 1 sampai 2 meter dan memakai masker. Ketika abai menjaga jarak (M1) dan memakai masker (M2), risiko tertular semakin tinggi. Demikian pula abai terhadap 3C, risiko akan munculnya klaster menjadi lebih tinggi.
Bayangkan jika pilkada akan berlangsung seperti sebelum terjadi pandemi. Calon berkampanye dengan mengundang banyak orang, dilaksanakan di ruang tertutup maupun terbuka dengan jumlah massa yang lebih banyak. Semakin banyak massa yang hadir, semakin top kandidat calon tersebut.
Apabila hal itu tetap terjadi, kekhawatiran akan munculnya klaster pilkada bakal benar-benar terbukti. Apalagi, KPU mengizinkan kegiatan mengundang kerumunan. Hal itu akan menjadi ”katalis” munculnya klaster baru. Sekaligus ’’alarm” bagi rumah sakit untuk segera menyiapkan kelengkapan menghadapi kedatangan ”tamu-tamu tak diundang”.
Presiden sebenarnya pernah memberikan arahan. Poin 8 arahan itu menyebutkan perlunya peningkatan penegakan disiplin menjalankan protokol kesehatan, terutama mengenai masker dan physical distancing. Sayang, arahan itu terkesan hanya menjadi wacana, tidak dipatuhi penyelenggara pemilu dan dikalahkan dengan ”euforia menyambut pilkada”.
Di negara lain, kegiatan yang mengundang kerumunan sangat dihindari bahkan dibatalkan jauh hari sebelum jadwal pelaksanaan. Di Inggris, sejak 14 September, mereka menerapkan larangan kumpul-kumpul lebih dari enam orang. Betapa mereka menjaga pandemi agar tetap terkendali. Karena dengan menjaga negara, mereka turut menjaga dunia untuk cepat mengakhiri pandemi ini.
Pendapat seperti itu sangat dipahami pemerintah Inggris. Seharusnya pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama, mengingat kasus konfirmasi Covid-19 per hari semakin meningkat. Peningkatannya sangat melonjak sejak akhir Juli. Hanya dalam waktu sebulan (sampa akhir Agustus) meningkat dari 2.000-an menjadi 3.000-an kasus per hari.
Hal itu berlanjut dalam waktu dua minggu sejak akhir Agustus. Kasus per hari meningkat dari 3.000-an menjadi hampir 4.000. Hal itu harus menjadi alarm bagi kita semua, terutama pemerintah pusat maupun daerah, untuk meninjau ulang kebijakan yang telah diputuskan. Apakah pilkada perlu dihentikan ataukah tetap dilanjutkan tapi dengan meminimalkan risiko.
Protokol kesehatan pencegahan Covid-19 tidak hanya harus dipahami saat periode kampanye, tetapi juga ketika pelaksanaan pemungutan suara. Jangan sampai pemberian suara menjadi momentum masyarakat menyerahkan raga untuk dihinggapi virus SARS-CoV-2. Rancangan pelaksanaan pemungutan suara harus disosialisasikan mulai sekarang agar tidak menjadi sumber persebaran virus. Pemerintah dan penyelenggara pemilu hendaknya mendengarkan masukan berbagai pihak yang concern terhadap keselamatan seluruh masyarakat. Bukan mementingkan ”keselamatan” segelintir orang.
Mahasiswa di universitas kami, sejak lima tahun terakhir, melakukan pemungutan suara pemilihan presiden BEM melalui televote dengan memanfaatkan teknologi informasi. Tentunya negara atau daerah lebih mampu untuk segera melaksanakan televote.
Cara itu menjadi solusi untuk merancang pilkada yang sehat dan aman bagi semua orang yang terlibat. Safety first harus menjadi budaya. Kita semua bisa melakukan itu. Jangan jadikan pilkada 2020 sebagai kenangan buruk!


*) Santi Martini, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair
Dimuat ulang dari https://www.jawapos.com/opini/22/09/2020/pilkada-2020-menyerahkan-suara-ataukah-raga/