Muhammad Zulfikar Rakhmat, Universitas Islam Indonesia (UII)
Artikel ini adalah bagian dari seri “Sembilan bulan pandemi di Indonesia”.
Kegagalan Indonesia dalam mengurangi jumlah kasus COVID-19 sembilan bulan setelah mengumumkan kasus pertama pada Maret mencerminkan respons yang lambat dan buruk terhadap penyebaran pandemi COVID-19. Penanganan virus tersebut telah berdampak pada reputasi global negara itu.
Per 3 Desember, Indonesia telah mencatat hampir 550 ribu kasus dan merenggut nyawa lebih dari 17.000 penduduk. Keduanya merupakan angka tertinggi di Asia Tenggara.
Citra rusak
Media luar dan lembaga-lembaga internasional mengakui buruknya pengelolaan COVID-19 di Indonesia dalam analisis mereka.
Sejak Maret, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengeluarkan banyak kebijakan dalam menanggapi pandemi seperti memberlakukan Pembatasan Skala Berskala Besar (PSBB), menganjurkan jaga jarak, dan mengalokasikan anggaran khusus untuk penanggulangan COVID-19.
Namun, karena lebih fokus pada stabilitas ekonomi daripada kesehatan masyarakat, pendekatan kebijakan pemerintah telah meresahkan banyak pihak karena gagal menahan penyebaran COVID-19.
Human Right Watch mengatakan pemerintah Indonesia gagal menyediakan akses informasi yang transparan untuk memerangi wabah COVID-19. Sebagai contoh, pemerintah Jakarta gagal memberikan data pasti berapa kasus yang ditanganinya. Sebaliknya, pihak berwenang menggunakan pasal-pasal pidana pencemaran nama baik yang usang dan disalahgunakan untuk membungkam kritik publik atas tanggapan pemerintah terhadap pandemi.
Sebuah laporan oleh Carnegie Endowment for International Peace, sebuah organisasi luar negeri non-partisan, menunjukkan prioritas pemerintah Indonesia yang salah tempat dan ketidakpercayaan mereka pada data yang telah mengakibatkan kegagalan dalam menahan penyebaran virus corona.
Narasi seputar ketidakmampuan Indonesia menghadapi pandemi telah merusak citranya di tingkat global.
Survei yang dirilis oleh Lowy Institute yang berbasis di Sydney, Australia, menemukan bahwa pengaruh diplomatik Indonesia turun 5,2% karena penanganan COVID-19 yang buruk. Survei tersebut mengukur reputasi suatu negara dalam banyak indikator, termasuk kekuatan militer dan diplomasi.
Lowy Institute telah juga mengkritik cara Presiden Jokowi menangani COVID-19. Mereka menemukan sebanyak 95% masyarakat di Australia meragukan kemampuannya menangani isu global seperti pandemi, padahal mereka menganggap Indonesia sangat penting bagi negaranya.
Keragu-raguan semacam ini dapat mempengaruhi pariwisata, perdagangan, dan investasi Indonesia.
Sedikitnya 59 negara, termasuk Amerika Serikat, telah melarang warga negara Indonesia memasuki wilayahnya.
Larangan itu diperkirakan merugikan ekspor Amerika Serikat ke Indonesia sebesar Rp 262 triliun karena para pebisnis dilarang bepergian untuk mencari peluang bisnis baru, sementara rapat online seringkali kurang efektif.
Penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia juga membuat investor asing hengkang dari pasar modal Indonesia.
Pertumbuhan jumlah kasus yang terus-terusan dan penanganan COVID-19 yang buruk adalah alasan utama bagi investor asing untuk keluar dari Indonesia.
Pekan ini, investor asing mencatat nilai jual bersih saham Rp 45,69 miliar. Sepanjang 2020, mereka telah melakukan penjualan bersih saham Rp 47,5 triliun.
Cina, investor terbesar kedua di Indonesia, juga melarang ekspor hasil-hasil perikanan Indonesia setelah menemukan beberapa kemasan produk Indonesia mengandung coronavirus.
Rencana 40 perusahaan Cina memindahkan pabriknya ke Indonesia juga dipertanyakan jika kondisi di Indonesia tak kunjung membaik.
Pada 1 September, pemerintah Malaysia melarang pekerja Indonesia memasuki Malaysia. Calon buruh migran Indonesia belum bisa masuk Malaysia sejak itu. Jepang dan Taiwan telah memberlakukan larangan serupa terhadap pekerja Indonesia.
Ini akan berdampak besar pada pengiriman uang kembali ke Indonesia, yang diyakini sebagai salah satu yang terbesar di Asia. Menurut Bank Indonesia (BI), remitansi yang dikirim oleh pekerja migran pada triwulan kedua tahun 2020 turun menjadi US$ 2,2 miliar atau sekitar Rp 31 triliun dari triwulan pertama senilai US$ 2,6 miliar.
Dengan adanya pelarangan TKI oleh Malaysia, Taiwan dan Jepang, diperkirakan remitansi tenaga kerja Indonesia akan semakin menurun.
Karena kasus COVID-19 yang terus meningkat, acara internasional dan regional juga telah dibatalkan.
Acara olahraga dan musik juga tidak terkecuali. Balapan Jakarta ePrix musim Formula E 2019-20 dan konser musik pemusik Indonesia Rich Brian dan band metal Amerika Dream Theater telah dibatalkan.
Pembatalan acara-acara tersebut memang dibutuhkan untuk mencegah penyebaran virus, tapi kegagalan Indonesia dalam mengontrol jumlah kasus COVID-19 akan membuat penyelenggara asing ragu untuk mengadakan acara-acara berskala internasional di Indonesia.
Seruan untuk kebijakan yang lebih baik
Pada awal pandemi, Indonesia meremehkan ancaman COVID-19. Kebijakan pemerintah Indonesia yang memprioritaskan ekonomi daripada kesehatan masyarakat mengakibatkan tingginya kasus COVID-19 di negara tersebut.
Untuk mengubah citra yang memburuk di panggung global, Indonesia harus mengubah pendekatannya terhadap COVID-19.
Indonesia harus mengikuti negara-negara seperti Taiwan dan Korea Selatan dalam mengambil langkah serius untuk mengendalikan virus. Itu termasuk memprioritaskan kesehatan masyarakat daripada melihat ekonomi saja.
Habib Pashya, mahasiswa Universitas Islam Indonesia, berkontribusi pada artikel ini.
Muhammad Zulfikar Rakhmat, Lecturer in International Relations, Universitas Islam Indonesia (UII)
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Diunggah Ulang oleh: Ilham Akhsanu Ridlo