Apakah mungkin virus penyebab COVID-19 menular melalui makanan beku?

Pekerja mengumpulkan rajungan hasil tangkapan nelayan di Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, 9 Oktober 2020.
ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/wsj.

Tuti Siregar, University of Canberra
Pertengahan bulan lalu otoritas bea cukai Cina menolak produk perikanan Indonesia karena kemasan luar produk seafood itu terkontaminasi virus corona.
Sebulan sebelumnya, pemerintah Kota Shenzhen Cina melaporkan temuan kasus positif COVID-19 pada produk sayap ayam beku yang diimpor dari Brazil. Kasus tersebut diumumkan sehari setelah temuan kasus positif pada produk udang beku yang berasal dari Ekuador di sebuah restoran di Provinsi Anhui, Cina.
Sampai kini otoritas Cina telah melaporkan sekitar 10 kasus penemuan virus SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, pada makanan dan kemasannya.
Walaupun otoritas keamanan pangan negara-negara Barat dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan tidak mungkin orang tertular COVID-19 dari makanan dan kemasannya, insiden tersebut menimbulkan kekhawatiran yang tinggi tentang keamanan produk beku impor yang beredar di Cina.
Sampai saat ini baru Cina yang melaporkan dan peduli dengan virus SARS-CoV-2 pada bahan pangan. Kita harus mencuci tangan dengan sabun setelah memegang makanan kemasan beku karena virus ini bisa bertahan lama dalam suhu dingin.

Keamanan pangan

Berita dari Cina tentang temuan virus pada produk beku dan kemungkinan penularan dari pekerja di perusahaan pangan beku akhirnya menggerakkan otoritas keamanan pangan Selandia Baru untuk menguji ada tidaknya virus pada produk beku di Auckland pada Agustus lalu.
Setelah lebih dari 3 bulan (sejak Mei) tak ada kasus baru COVID-19, negara yang termasuk terdepan dalam penanganan COVID-19 dengan jumlah kasus positif yang rendah ini tiba-tiba pada Agustus lalu dikagetkan dengan temuan kasus positif pada seorang perempuan berusia 50-an tahun. Dia tidak punya riwayat perjalanan luar negeri, juga tidak ada indikasi transimisi lokal.
Hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi pihak otoritas Selandia Baru: dari mana perempuan tersebut tertular. Dugaan kuat, dia tertular virus lewat suaminya yang bekerja di perusahaan pengemasan produk beku, yang dua minggu sebelumnya juga mengalami gejala COVID-19.
Saat itu diduga suaminya tertular virus dari kemasan makanan beku, tapi kemudian pemerintah Selandia Baru mengatakan kemungkinan itu sangat kecil walau saat itu sumber virus belum bisa diketahui secara pasti.
Dengan kemungkinan yang sangat kecil itu, apakah ada kemungkinan makanan dan kemasannya dapat menjadi media penularan virus SARS-CoV-2? Pihak otoritas keamanan pangan dunia mulai mencari data tentang kemungkinan transimisi virus SARS-CoV-2 melalui makanan dan kemasannya.
Mari kita lihat pendapat beberapa otoritas keamanan pangan dunia berikut ini.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam dokumen panduan berjudul “COVID-19 and Food Safety: Guidance for Food Business” terbitan 7 April 2020 menyatakan: “Sangat kecil kemungkinan orang tertular COVID-19 dari pangan dan kemasannya”.
Otoritas Pangan dan Obat (FDA) Amerika Serikat juga mengatakan “Sampai saat ini tidak ada bukti kuat bahwa pangan dan kemasannya dapat menularkan COVID-19”.
Badan Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) pada 3 Maret 2020 mengatakan tidak ada bukti ilmiah COVID-19 ditularkan melalui pangan. Badan Standar Pangan Australia dan Selandia Baru (ANZFS) pada 26 Agustus 2020 mengatakan tidak ada bukti yang mengungkapkan bahwa orang akan tertular COVID-19 karena mengkonsumsi virus yang terdapat atau menempel pada makanan atau minuman.
Hampir semua badan otoritas keamanan pangan dunia sepakat bahwa tidak ada data ilmiah yang kuat untuk membuktikan bahwa virus SARS-CoV-2 bisa ditransfer melalui makanan.

Temuan riset

Pernyataan-pernyataan otoritas keamanan pangan itu senada dengan hasil riset terbaru dari peneliti Amerika Serikat dan Cina yang melakukan tes menggunakan hewan percobaan di laboratorium untuk membuktikan apakah virus SARS-CoV-2 dapat ditularkan secara oral. Hasil penelitian mereka menunjukkan saat virus memasuki saluran pencernaan akan langsung mati oleh tingkat asam lambung yang tinggi.
Riset terbaru dari University of Minnesota juga menyatakan proses pemasakan (suhu tinggi) dapat mematikan virus COVID-19, sehingga makanan yang dimasak seharusnya aman dikonsumsi. Lalu bagaimana dengan suhu rendah seperti halnya makanan beku yang ditemukan mengandung virus di Cina?
Beberapa jenis virus dapat bertahan sampai 2 tahun pada suhu dingin sampai minus 20 derajat Celsius. SARS-CoV-2 juga masih bisa hidup pada suhu rendah sampai 21 hari penelitian di laboratorium.
Kepala Laboratorium Mikrobiologi China National Centre for Food Safety Risk Assessment, Li Fengqin, pada Juni lalu mengatakan kontaminasi virus melalui makanan yang disimpan beku dapat berpotensi menjadi sumber transimisi. Pernyataan ini diperkuat dengan laporan terbaru, juga di Cina, bahwa sel virus SARS-CoV-2 yang masih hidup pada makanan beku.
Tes PCR bisa positif pada pangan atau kemasan yang terinfeksi virus corona. Tapi jika sel virus (RNA) sudah mati, maka virus tidak bisa menggandakan diri lagi sehingga bahayanya menjadi hilang. Data pengujian replikasi RNA yang diambil dari pangan terkontaminasi diperlukan untuk menetapkan aturan baru terkait transmisi virus COVID-19 lewat makanan.
Terlepas dari kemungkinannya sangat kecil, peluang kontaminasi melalui makanan selalu ada.
Ini sama halnya ketika pada awal pandemi WHO menyatakan tidak perlu memakai masker untuk orang yang sehat karena saat itu belum ada data yang cukup tentang sifat infeksi virus COVID-19 melalui udara.
Tapi kemudian setelah data ilmiah tercukupi, memakai masker menjadi anjuran atau bahkan diwajibkan untuk semua orang untuk daerah-daerah yang kasus sangat tinggi. Anjuran ini tertuang dalam dokumen yang telah diperbarui oleh WHO pada Juni.
Secara bisnis, kasus penolakan produk telah menimbulkan kerugian pada pihak pengekspor. Jika penolakannya semakin banyak, maka akan berdampak pada kepercayaan dunia internasional pada produk kita.

Apa yang harus dilakukan produsen makanan atau konsumen?

Produsen dan konsumen tetap harus mengikuti protokol kesehatan seperti mencuci tangan dengan sabun minimal 20 detik sebelum dan setelah memegang makanan kemasan beku. Produsen mestinya tidak menyiapkan dan mengemas bahan makanan saat kondisi kurang sehat.
Penerapan PSBB di berbagai kota telah membuat industri makanan berbasis online menjamur sehingga pengantar makanan juga harus mengikuti protokol kesehatan yang baik. Penerapan sanitasi sepanjang rantai produksi juga sangat penting.
Sebenarnya penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) seperti menggunakan alat pelindung diri (masker, sarung tangan). Praktik sanitasi dan higienis juga sudah diterapkan pada perusahaan besar atau untuk tujuan ekspor, tapi pemerintah perlu juga mengawasi penerapan GMP untuk UKM atau industri rumah tangga, yang selama ini lebih banyak beredar di pasar lokal Indonesia.
Konsumen yang memesan makanan siap saji sebaiknya menghangatkan makanan sebelum dikonsumsi untuk memastikan makanan bebas virus. Lebih repot? Iya, pasti. Tapi untuk tetap sehat kenapa harus ragu repot sedikit daripada harus repot lama karena sakit.The Conversation
Tuti Siregar, PhD candidate, University of Canberra
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
 
Diunggah Ulang oleh Ilham Akhsanu Ridlo