Andree Surianta, Australian National University
Walau Presiden Joko Widodo yakin bahwa vaksinasi nasional bisa rampung kurang dari setahun dengan 30.000 vaksinator yang menyuntik 30 orang per hari, hitungan statistik sumber daya kesehatan berbicara lain.
Program ambisius pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kekebalan masyarakat melalui vaksinasi COVID-19 sebanyak 70% penduduk itu kelihatannya akan tercapai targetnya hanya di lima provinsi: Jakarta, Kalimantan Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Yogyakarta, dan Aceh.
Vaksinasi di provinsi DKI Jakarta – yang memiliki kasus positif COVID-19 tertinggi dengan sekitar seperempat dari total kasus nasional – akan tercepat selesai dalam 9 bulan, sementara provinsi terpadat, Jawa Barat (kasus tertinggi kedua dengan 14% dari total nasional), baru akan selesai setelah 34 bulan. Secara nasional Kementerian Kesehatan menargetkan imunisasi rampung dalam 15 bulan pada Maret 2022.
Hitungan ini saya peroleh dari perkiraan jumlah vaksinator yang ada berdasarkan data sebaran tenaga kesehatan saat ini dan asumsinya jumlah tersebut tidak meningkat dalam jangka pendek.
Karena itu perlu ada kerja sama antarprovinsi. Provinsi yang memiliki vaksinator banyak perlu membantu provinsi yang vaksinatornya lebih sedikit. Tanpa ada kerja sama tersebut, karena mobilitas penduduk, virus corona akan berputar-putar di antara provinsi yang vaksinasinya tidak merata.
Jumlah dan sebaran vaksinator kunci kecepatan vaksinasi
Sebulan pertama perjalanan vaksinasi COVID-19 di Indonesia diwarnai polemik ihwal lambatnya pelaksanaan program imunisasi ini. Bahkan, sempat ramai di media setelah Bloomberg memprediksi bahwa Indonesia perlu lebih dari 10 tahun untuk memvaksinasi 75% penduduknya jika kecepatan vaksinasi tidak berubah signifikan dari angka penyuntikan sekitar 60 ribu dosis per hari.
Mengacu kepada laju vaksinasi saat ini, pemerintah Jawa Timur optimis bisa menyelesaikan vaksinasi di provinsinya dalam waktu 4 bulan. Pemerintah Jawa Barat pun menargetkan selesai vaksinasi dalam 6 bulan.
Selain ketersediaan vaksin, distribusi dan rantai dingin penyimpanan vaksin, salah satu faktor kunci yang mempengaruhi cepat atau lambatnya vaksinasi massal adalah jumlah vaksinator.
Jika rata-rata 900.000 orang divaksin per hari, maka imunisasi 181 juta jiwa bisa tercapai dalam 201 hari. Akan tetapi perhitungan ini hanya berlaku jika setiap orang divaksin satu kali saja. Faktanya, per 24 Februari, penyuntikan pertama vaksin untuk tenaga kesehatan sekitar 93 ribu sehari, sementara penyuntikan dosis tahap kedua hanya sekitar 35 ribu.
Kebanyakan vaksin COVID-19 termasuk CoronaVac yang dipakai di Indonesia memerlukan dua penyuntikan, jadi waktu tersebut harus dikali dua. Jika setiap vaksinator bekerja 22 hari per bulan, maka 30.000 vaksinator akan memerlukan sekitar 18 bulan untuk menyelesaikan program ini.
Namun, yang lebih penting bukanlah jumlah vaksinator secara keseluruhan, tapi sebarannya. Saat saya tinjau per provinsi kemungkinan besar sebaran vaksinator ini tidak merata.
Perlu dicatat bahwa kunci kecepatan terletak di rasio antara vaksinator dan populasi. Sederhananya, Jawa Timur yang mengklaim memiliki 11.300 vaksinator dan target vaksinasi 28 juta orang (rasio 1:2.500) akan dua kali lebih cepat dari DKI Jakarta yang rasionya 1:4.900 (DKI punya 1.500 vaksinator untuk 7 juta orang).
Membandingkan kebutuhan dan ketersediaan vaksinator
Perhitungan di atas menggambarkan bahwa jumlah vaksinator seharusnya didasarkan kepada populasi setiap provinsi.
Misalnya, jika vaksinasi harus mencapai 70% dari 48 juta penduduk Jawa Barat, maka akan diperlukan 70% x 48 juta x 2 suntikan = 67,2 juta suntikan.
Kalau kita asumsikan setiap vaksinator menyuntik 30 orang per hari, maka Jawa Barat memerlukan sekitar 8.700 vaksinator untuk menyelesaikan vaksinasi dalam 260 hari kerja atau satu tahun. Dengan cara yang sama kebutuhan vaksinator semua provinsi bisa dihitung.
Jawa Timur, misalnya, perlu 7.300 vaksinator untuk menjangkau 70% populasinya dalam setahun. Banten memerlukan 2.200, Jawa Tengah 6.600, DI Yogyakarta 660, dan DKI Jakarta 1.900 vaksinator. Semakin padat populasinya, semakin besar kebutuhan vaksinatornya.
Pertanyaannya sekarang: apakah jumlah vaksinator yang ada sudah cukup untuk mengejar target?
Data vaksinator per provinsi masih sangat terbatas. Namun, Kementerian Kesehatan mempublikasikan data sumber daya kesehatan per provinsi yang bisa dijadikan dasar estimasi sebaran vaksinator. Data ini menunjukkan jumlah tenaga kesehatan (nakes) yang mencakup dokter, perawat, bidan, apoteker, sampai pengelola program kesehatan.
Menurut data ini, Jawa Barat memiliki 127.695 nakes. Total nakes di Indonesia sekitar 1,2 juta, artinya di Jawa Barat ada sekitar 10% dari total nakes se-Indonesia. Vaksinator adalah sub-komponen dari nakes, jadi kemungkinan besar persentasenya mirip dengan persentase nakes keseluruhan.
Jadi jika ada 30.000 vaksinator di Indonesia, maka diperkirakan sepersepuluhnya atau 3.000 vaksinator berdomisili di Jawa Barat.
Jadi, untuk memperkirakan jumlah vaksinator yang sudah ada, tinggal mengalikan persentase nakes setiap provinsi dengan 30.000. Dengan metode ini, maka estimasi ketersediaan vaksinator di Jawa Timur adalah sekitar 4.000, Banten 840, Jawa Tengah 3.800, DI Yogyakarta 710, dan DKI Jakarta 2.400. Ini daerah-daerah yang populasinya terpadat di Indonesia.
Estimasi ini mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan kenyataan tapi setidaknya bisa memberikan gambaran celah kebutuhan dan ketersediaan vaksinator.
Misalnya saja, Gubernur Jawa Timur mengklaim provinsinya ada 11.300 vaksinator, sedangkan Dinas Kesehatan Jakarta menyatakan bahwa ada 1.500 vaksinator di Ibu Kota. Perbedaan data ini bisa mendikte laju vaksinasi seperti dibahas pada bagian selanjutnya.
Perencanaan dan kerja sama kunci keberhasilan vaksinasi
Kita bisa memperkirakan lama vaksinasi per provinsi dengan melihat estimasi kebutuhan vaksinator dan ketersediaannya. Jika jumlah vaksinator sesuai dengan estimasi tersebut dan tidak meningkat dalam waktu cepat, hanya lima provinsi yang mampu menyelesaikan vaksinasinya kurang dari setahun.
Dari gambar di atas, imunisasi di Jakarta akan selesai tercepat dengan waktu sekitar 9 bulan, sedangkan provinsi paling banyak penduduk, Jawa Barat, akan selesai terakhir setelah 34 bulan. Waktu penyelesaian di provinsi lain di Pulau Jawa pun cukup beragam.
Jawa Timur, misalnya, baru akan selesai setelah 22 bulan. Banten perlu 31 bulan, Jawa Tengah 21 bulan, dan DI Yogyakarta 11 bulan.
Perlu dicatat bahwa angka Jawa Timur di atas didasarkan pada estimasi ketersediaan 4.000 vaksinator. Jika jumlah vaksinator di lapangan memang tiga kali lipat, maka waktunya akan turun sepertiga menjadi sekitar 8 bulan. Tetapi untuk Jakarta, kalau memang kenyataannya vaksinator lebih sedikit dari estimasi, maka provinsi ini tidak menjadi yang tercepat selesai karena membutuhkan 15 bulan.
Namun, selesai vaksinasi lebih cepat bukan berarti provinsi tersebut bebas pandemi.
Kalaupun Jakarta atau Jawa Timur menjadi “juara vaksinasi”, virus tetap bisa menumpang mobilitas penduduk dari dan ke provinsi lainnya. Ini akan mengancam 30% penduduk provinsi tersebut yang tidak kebagian vaksin gratis. Belum lagi ancaman virus varian baru yang mungkin sudah belajar menghindari kekebalan dari vaksin.
Mempercepat dan menutup celah vaksinasi ini memerlukan perencanaan yang matang dan kerja sama antarprovinsi.
Dari perhitungan di atas, saya menyoroti beberapa hal yang perlu segera dibenahi.
Pertama, kecepatan vaksinasi nasional sejauh ini masih jauh dari 900.000 orang per hari.
Kedua, asumsi per vaksinator menyuntik 30 orang per hari sepertinya kurang realistis. Simulasi pemerintah Jawa Barat menunjukkan bahwa setiap vaksinator hanya bisa melayani 10–16 orang per hari dan DKI Jakarta memperkirakan 13 orang per vaksinator per hari.
Ketiga, mempertahankan kecepatan juga berarti distribusi harus mulus. Nyatanya, kapasitas rantai pendingin di daerah masih sering menjadi kendala dan bahkan stok vaksin mulai menipis di beberapa daerah.
Dengan bergulirnya vaksinasi, seharusnya kecepatan ini sudah bisa diamati di lapangan sehingga perkiraan sumber daya bisa lebih akurat.
Provinsi yang banyak vaksinatornya bisa membantu provinsi yang kekurangan dengan “meminjamkan” SDM-nya saat antrian vaksinasi di provinsinya sudah mulai longgar.
Provinsi yang bertetangga juga bisa mempertimbangkan berbagi kapasitas penyimpanan berpendingin untuk mengatasi kemacetan distribusi.
Kementerian Kesehatan harus memainkan peranan sebagai koordinator yang memonitor dan mengarahkan aliran sumber daya vaksinasi antarprovinsi.
Kecepatan vaksinasi memang penting dalam usaha pengendalian pandemi COVID-19, tapi tidak ada provinsi yang benar-benar aman sampai semua provinsi berhasil mengendalikan pandemi di daerahnya.
Vaksinasi bukan perlombaan
Meski kecepatan penting, perlu kita pahami bahwa vaksinasi bukanlah suatu perlombaan. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa belum lama ini menekankan bahwa ketimpangan vaksinasi antarnegara memberikan kesempatan bagi virus SARS-CoV-2 untuk terus beredar dan bermutasi.
Kekhawatiran yang sama muncul dari Direktur Jenderal WHO saat mendorong negara yang persediaan vaksinnya berlebih untuk segera berbagi dengan negara yang kekurangan.
Meski konteksnya antarnegara, pelajaran yang sama berlaku untuk situasi antarprovinsi di Indonesia. Intinya, meski sudah divaksinasi, populasi suatu provinsi akan tetap terancam jika virus ini masih terus beredar di provinsi lainnya karena vaksinasi tidak merata.
Andree Surianta, PhD Candidate in Public Policy, Australian National University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.