FKM NEWS – Sejak isu kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tersiar bulan Agustus lalu, kini kabar burung tersebut terus menjadi pembahasan hangat publik. Pasalnya, iuran BPJS dipastikan akan bertambah dan berlaku mulai 1 Januari 2020 mendatang.
Bila dilihat, jumlah iuran BPJS memang dirasa terlalu kecil untuk menutup defisit yang diperkirakan mencapai Rp 28 triliun pada akhir tahun 2019 itu. Penyebab utamanya adalah ketidakteraturan peserta dalam melakukan pembayaran. Padahal sebagian besar dari mereka diketahui menikmati layanan BPJS Kesehatan. Selain itu, banyak ditemukan kasus rumah sakit yang memanipulasi kategori kelasnya untuk mendapat dana lebih besar. Hal itu berakibat pada ketidakmampuan BPJS Kesehatan untuk mengumpulkan penerimaan yang seharusnya.
Jumlah tersebut dibarengi dengan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah mencapai 223,35 juta jiwa. Jumlah itu terdiri dari penerima bantuan iuran (PBI) yang ditanggung Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebanyak 96,59 juta jiwa dan PBI ditanggung Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebanyak 37,34 juta jiwa. Peserta dari pekerja penerima upah (PPU) pemerintah yang meliputi ASN, TNI dan Polri sebanyak 17,54 juta jiwa. PPU Badan Usaha yang meliputi BUMN dan badan swasta lainnya sebanyak 34,13 juta jiwa. Sementara, peserta bukan penerima upah (PBPU) sebanyak 32,59 juta dan peserta bukan pekerja (pensiunan) sebanyak 5,16 juta.
Melihat hal tersebut, tidak dapat dipungkiri bila pemerintah terus mendorong kenaikan tarif iuran BPJS. Berita baru-baru ini mengatakan bahwa iuran BPJS Kesehatan akan mengalami lonjakan tarif sebesar 100 persen. Dengan rincian tertulis, sebagai berikut .
- Penerima Bantuan Iuran (PBI) naik dari Rp. 23.000 menjadi Rp. 42.000 per jiwa.
- Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P), yang terdiri dari ASN/TNI/POLRI diubah menjadi 5% dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi, dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS Daerah.
- Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU) diubah menjadi 5% dari total upah
- Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) / Peserta Mandiri: Kelas 3 sebesar Rp42.000 per jiwa;
Kelas 2: naik menjadi Rp110.000 per jiwa; Kelas 1 naik menjadi Rp.160.000.
Pertanyaan yang muncul setelah pemberlakuan kebijakan ini adalah respon dari peserta BPJS Kesehatan. Seberapa mampu mereka membayar tarif yang telah disepakati. Kenaikan tarif sebesar 100 persen cukup membuat publik tercengang. Meski riset menunjukkan bahwa iuran BPJS masih terlalu kecil serta iuran untuk orang yang berpenghasilan lebih besar sama dengan masyarakat berpenghasilan UMR.
Karakter masyarakat Indonesia yang menyukai hal murah dan gratis juga tidak dapat dipungkiri. Tentu bila ditelaah lagi akan cukup memberatkan mereka secara finansial. Dapat diprediksi hal ini akan berefek pada ketidakdisiplinan para peserta untuk membayar iuran. Sehingga langkah preventif yang harus dilakukan adalah menigkatkan kolektabilitas melalui jalur hukum, yaitu ketaatan membayar iuran BPJS menjadi syarat mutlak masyarakat untuk memperoleh layanan publik.
Contoh nyata dengan melakukan sinkronisasi data misalnya jika ada yang orang yang ingin mendapat layanan publik seperti pembuatan SIM atau Paspor akan di cek dulu apakah ia mempunyai tunggakan pembayaran BPJS. Jika masih ada tunggakan maka mereka akan diminta untuk melunasi terlebih dahulu sebelum melanjutkan proses di layanan publik tersebut.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20190912120035-4-98926/berapa-sih-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan-dan-kapan
Penulis: Tunjung Senja Widuri