HARI Santri Nasional tahun ini (22 Oktober) kita peringati dalam situasi pandemi Covid-19. Pun dalam situasi resesi ekonomi nasional. Kondisi tersebut tentu berimbas pada kehidupan santri. Pesantren benar-benar diuji dalam melangsungkan pendidikan asrama dengan protokol kesehatan yang ketat.
Meskipun pada tahun ajaran baru 2020–2021 ini pendidikan di sekolah-sekolah dilangsungkan secara daring, sebagian pesantren (atau bahkan sebagian besar?) telah memulai pendidikan asrama dan secara luring tentunya. Risiko besar menanti karena para santri selalu berkumpul 24 jam setiap hari.
Sejauh ini beberapa kasus positif Covid-19 di pesantren juga dapat dikendalikan dengan cepat. Persebarannya memang cepat, tapi pengendaliannya juga bisa cepat karena keberadaan santri dalam area terbatas dan dikontrol pesantren.
Namun, ada satu hal yang perlu menjadi concern kita, yaitu pemenuhan gizi santri di era pandemi Covid-19. Penelitian yang pernah penulis lakukan di beberapa pesantren menunjukkan bahwa pesantren belum menyediakan menu makan seimbang sesuai dengan kebutuhan santri, yang rerata masih remaja dan sedang dalam masa pertumbuhan. Santri juga sering melewatkan waktu makan dengan berbagai alasan. Bila dirunut, makanan sederhana yang terkesan ”asal kenyang” bisa jadi karena iuran yang ditarik dari orang tua memang minim, yang membuat pihak pesantren juga menyesuaikan bujet yang ada.
Di era Covid-19 ini, tentunya tantangan pesantren dalam penyediaan makan lebih berat, mengingat para orang tua santri juga terdampak secara ekonomi. Memasukkan anak ke pondok pesantren, bagi sebagian orang tua, perlu effort yang lebih besar dan biaya ekstra karena harus membayar biaya asrama, makan, dan pendidikan dua sistem (diniyah serta sekolah formal).
Hasil lima studi tentang anemia pada santri di pondok pesantren, semuanya menunjukkan lebih dari separo santri putri menderita anemia. Bahkan, ada yang mencapai hampir 80 persen. Artinya, di antara 10 santri putri, 8 menderita anemia. Penyebab anemia umumnya adalah kekurangan zat gizi mikro, utamanya zat besi. Bahan makanan yang banyak mengandung zat besi di antaranya bayam, brokoli, kerang, hati, daging, ikan, kacang-kacangan, dan biji-bijian lainnya.
Anemia yang diderita remaja tidak hanya akan berdampak pada pertumbuhannya, tetapi juga performa di sekolah, daya ingat, dan konsentrasi belajarnya. Serta memengaruhi sistem imun tubuh sehingga rentan menderita penyakit infeksi. Anemia pada remaja perlu segera ditanggulangi karena juga berdampak jangka panjang, seperti kelak ketika menjadi ibu hamil.
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, hampir 50 persen ibu hamil menderita anemia. Ibu hamil anemia berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dan pada beberapa studi berhubungan pula dengan stunting pada anak. Untuk itu, sangat layak pesantren dan santri di dalamnya mendapatkan subsidi bahan pangan. Bisa jadi, santri lebih membutuhkan bantuan pangan daripada kuota internet. Perlu ada kajian terkait hal tersebut, mengingat santri belajar di pesantren dan pembelajaran dilakukan secara luring.
Bentuk program bantuan pangan pada santri dapat mengadopsi sebuah program subsidi pangan di sekolah asrama pada dua provinsi di Tiongkok. Pengelola sekolah menerima bantuan dana, di mana dana tersebut digunakan untuk keperluan gizi anak sekolah yang tinggal di asrama. Pengelola juga mendapat penjelasan tentang tujuan program, target yang ditetapkan, dan pengumpulan data awal tentang status gizi, termasuk status anemia anak didiknya, serta tentang pengelolaan gizi anak sekolah.
Pengelola diberi keleluasaan dalam penggunaan dana untuk memenuhi target yang ditetapkan dan diberi bonus bila bisa menurunkan angka kurang gizi dan penderita anemia. Anak sekolah pun diminta membuat catatan makanan yang dikonsumsinya sebagai bentuk monitoring keragaman pangan yang diberikan pengelola. Pada akhir program, siswa sekolah tersebut diukur kembali status gizi dan anemianya. Hasilnya, program subsidi pangan itu terbukti efektif menurunkan angka anemia dan meningkatkan status gizi serta kesehatan anak sekolah di lokasi tersebut.
Bantuan pangan dapat pula berupa bahan pangan secara langsung dengan melibatkan dan memberdayakan para petani atau usaha kecil menengah di sekitar lokasi pesantren. Bantuan dapat pula berupa bibit ikan lele, misalnya, atau tanaman pangan yang dapat dipanen secara cepat dalam beberapa bulan.
Studi telah banyak dilangsungkan berbagai peneliti dengan objek santri dan pesantren. Kini tinggal bagaimana tindak lanjut dari bukti yang telah ada. Terdapat ribuan pesantren di Jawa Timur dan Indonesia dengan jutaan santri di dalamnya. Mereka juga generasi penerus bangsa dan calon pemimpin masa depan.
Karena itu, sudah saatnya status gizi dan kesehatan santri mendapat perhatian lebih. Apalagi, di masa pandemi ini, orang tua santri mungkin juga terdampak secara ekonomi dan berimbas pada uang saku yang dikirimkan kepada putra/putrinya. Santri pun menjadi lebih berisiko menderita kekurangan gizi.
Momen Hari Santri Nasional tahun ini yang dirayakan dalam suasana pandemi Covid-19 kiranya dapat menjadi titik awal bagi semua pihak, baik pemerintah, para pengusaha, organisasi kemasyarakatan/keagamaan, maupun masyarakat luas, untuk lebih meningkatkan kepedulian terhadap kehidupan di pesantren. Utamanya status gizi dan kesehatan para santri. (*)
*) Siti Rahayu Nadhiroh, Dosen Departemen Gizi FKM Universitas Airlangga Surabaya
Dimuat ulang dari https://www.jawapos.com/opini/24/10/2020/gizi-santri-melawan-pandemi/