Ketimpangan akses akibatkan perempuan lebih rentan saat terjadi bencana alam

Perempuan korban tsunami Selat Sunda berdiri di depan rumahnya yang rusak di Kecamatan Sumur, Banten, 26 Desember 2018.
Fajrul Islam/Shutterstock

Ernawaty, Universitas Airlangga
Korban perempuan lebih banyak dibanding korban laki-laki saat terjadi bencana alam seperti gempa dan tsunami. Dari sekitar 400 ribu orang yang mengungsi karena gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Agustus tahun lalu, misalnya, 229 ribu di antaranya perempuan dan 187 ribu laki-laki.
Fakta ini tampaknya menguatkan hasil riset Oxfam pada 2005 yang melaporkan bahwa korban meninggal pada bencana tsunami Aceh pada 2004 di empat desa di Kabupaten Aceh Utara, mayoritas (77%) adalah perempuan.
Laporan ini mengungkapkan beberapa pola sebagai penyebab banyaknya perempuan meninggal dalam bencana tsunami Aceh. Misalnya, para perempuan harus menjaga anak atau keluarganya yang lain saat bencana datang. Sedangkan laki-laki, saat terjadi tsunami, cenderung bisa berenang atau memanjat pohon.
Dalam kasus di Aceh juga ditengarai bahwa kemungkinan penyebab banyaknya korban perempuan dibanding laki-laki adalah banyak perempuan tidak bisa berenang.
Artikel ini mengulas setidaknya empat hal terkait keadaan perempuan lebih rentan dibanding laki-laki saat terjadi bencana dan setelah bencana.

1. Ketimpangan akses

Salah satu aspek yang sedikit dikaji adalah dampak bencana terhadap perempuan dan anak. Satu riset di Bangladesh menemukan fasilitas kesehatan yang kurang memadai selama bencana alam terjadi di sana menyebabkan perempuan rentan terhadap masalah kesehatan seksual dan reproduksi serta meningkatnya jumlah kekerasan domestik maupun seksual.
Riset lainnya menyebutkan bahwa risiko apa pun, baik risiko mati atau cedera yang terjadi dalam bencana yang sama akan terdistribusikan berbeda di masyarakat. Akses dan kontrol terhadap sumber daya seperti air bersih, toilet, fasilitas kesehatan, dan sanitasi shelter dapat mempengaruhi kerentanan sebuah komunitas dalam bertahan hidup dan pulih pada kondisi normal.
Dalam perspektif gender, perempuan banyak menjadi korban dalam situasi bencana karena memiliki akses yang lebih rendah terhadap sumber daya seperti sarana toilet dan air bersih selama di shelter pengungsian dibanding laki laki. Selain itu, kurangnya sarana prasarana mempersulit untuk memenuhi kebutuhan perempuan seperti menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui anak.
Contohnya, sarana toilet dan kamar mandi darurat yang dibangun seadanya, jarak toilet dan kamar mandi yang jauh dari pengungsian serta penerangan seadanya juga membahayakan keselamatan kaum perempuan.
Di pengungsian, perempuan juga cenderung mengalami defisiensi nutrisi (gizi) karena mereka memiliki kebutuhan nutrisi yang unik (khususnya saat mereka hamil atau menyusui bayi). Langkanya tempat yang memadai untuk menyusui bayi, minimnya makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhan nutrisi, serta kualitas bahan pakaian yang tidak memadai merupakan banyak hal yang menjadi alasan rentannya perempuan di shelter pengungsian.
Belum lagi beragam adat, budaya, dan keyakinan agama yang dianut perempuan, yang menyebabkan tidak mudahnya perempuan untuk segera mengakses fasilitas yang tersedia di lingkungan pengungsian. Hal tersebut memiliki konsekuensi dalam upaya bertahan dalam situasi bencana.

2. Kekerasan pasca bencana

Di tempat pengungsian, keterbatasan ruang privasi membuat banyak perempuan merasa tidak nyaman. Tempat penampungan yang kurang privasi bisa memicu timbulnya kekerasan seksual pada perempuan.
Banyak perempuan memiliki kebiasaan yang tidak mungkin berganti pakaian di tempat yang mungkin dilihat oleh banyak orang, apalagi laki-laki. Demikian juga, banyak perempuan tidak akan bisa mandi atau buang air ketika menggunakan toilet yang juga digunakan oleh lawan jenis (toilet bersama).
Kekerasan seksual pada perempuan bahkan menjadi momok yang harus diwaspadai di lingkungan sementara pascabencana. Perempuan atau anak perempuan yang mungkin telah terpisah dari keluarga yang biasa bisa melindunginya, akan merasa semakin tidak berdaya di pengungsian.
Seorang anak perempuan korban gempa di Sulawesi Tengah baru-baru ini yang mengungsi ke Makassar, diduga diperkosa oleh tiga laki-laki di tempat pengungsian.
Lingkar Belajar Untuk Perempuan (Libu Perempuan) yang membuka tenda ramah perempuan di lokasi pengungsian pasca gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah pada September 2018 menerima beberapa laporan kekerasan seksual pada perempuan.

3. Kebutuhan minimum: air

Perempuan menghadapi situasi sulit di pengungsian. Sulit untuk seorang perempuan yang sedang menstruasi atau ibu nifas merasa aman dan nyaman dengan kondisi tidak ada air dalam situasi bencana. Demikian pula ketika seorang perempuan memiliki anak kecil, ketiadaan air bisa lebih merepotkan bagi perempuan daripada laki-laki pada situasi bencana.
Masalah air, tidak hanya berhenti pada ketersediaan air untuk membersihkan diri. Kecukupan air minum akan lebih berpengaruh pada kuantitas air susu pada ibu yang sedang menyusui bayi. Kualitas air susu ibu sebagai pemasok utama bagi bayi di pengungsian tidak bisa diabaikan. Zat gizi yang baik dan cukup jumlahnya harus didapatkan dari kecukupan makanan yang bisa diperoleh pada kondisi pasca bencana.
Cerita di pengungsian akibat gempa Palu menunjukkan betapa logistik untuk bayi sulit dipenuhi. Ketersediaan air ini seringkali menjadi masalah yang rumit untuk diselesaikan. Seperti pada kasus gempa Lombok, sumber air ikut serta hancur di samping itu pasokan air bersih sulit.
Ibu hamil, yang pada kondisi normal merupakan kelompok populasi yang rentan, akan semakin rentan jika berada pada kondisi pasca bencana dengan lingkungan yang tidak mendukung segala kebutuhan minimalnya. Tenda yang penuh sesak, terpisah dengan keluarga, dan berbagai pemicu stres bisa mengancam kebutuhan nutrisi ibu hamil yang tidak tercukupi.
Adakah petugas medis yang tersedia dan siap merespons ketika ibu hamil membutuhkannya? Bagaimana dengan peralatan dan obat yang dibutuhkan? Adakah angkutan yang mendukung mobilitas ibu hamil bila dibutuhkan untuk memindahnya ke fasilitas kesehatan yang lebih layak?
Karena itu, dibutuhkan perlakuan khusus untuk ibu hamil, baik pada proses evakuasi maupun saat di tempat pengungsian.

4. Trauma dan suara perempuan

Tidak semua kebutuhan perempuan bertumpu pada kebutuhan fisik saja. Perempuan yang kehilangan suami, kehilangan anak, atau anak perempuan yang kehilangan orang tua atau keluarganya akan mengalami trauma psikologis yang relatif panjang. Pemulihan trauma psikologis amat sangat diperlukan, dengan pendekatan spesifik pada setiap jenis kasus yang terjadi.
Minimnya kesempatan perempuan menjadi pemimpin dalam pengungsian seringkali menghambat terdengarnya suara perempuan, sehingga kebutuhan perempuan tidak selalu menjadi pemenuhan utama. Kesempatan untuk hadir dan tampil berbicara dalam pertemuan internal di dalam komunitas pengungsi, maupun pertemuan dengan stakeholder lain di tempat pengungsian banyak diwakili oleh laki-laki.
Alasan domestik seperti tidak bisa meninggalkan anak, dalam kondisi hamil dan merasa kurang sehat, sangat bisa menjadi alasan tidak tampilnya perempuan dalam komunitas.
Demikian pula alasan budaya rumah tangga-seperti biasa mewakilkan keputusan pada laki-laki, merupakan hambatan untuk menyampaikan kebutuhan sesungguhnya dari perspektif perempuan.

Apa solusinya?

Kementerian Kesehatan telah menyusun Pedoman Pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) kesehatan reproduksi pada 2015 yang terintegrasi dengan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan.
Pedoman ini memuat serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi yang harus dilaksanakan segera pada tahap awal bencana atau saat tanggap darurat krisis kesehatan yang menitikberatkan pada pencegahan kematian, kesakitan dan kecacatan pada populasi yang terkena dampak bencana, khususnya perempuan dan remaja perempuan.
Pada 2007 Kementerian Kesehatan menyusun Pedoman Pelaksanaan PPAM Kesehatan Reproduksi Remaja pada Krisis Kesehatan. Pada masa krisis kesehatan, remaja (terutama perempuan) adalah komunitas rentan terhadap kekerasan seksual, perkosaan yang bisa berujung pada infeksi menular seksual, ataupun juga risiko kehamilan yang tidak diinginkan.
Penerbitan pedoman tersebut merupakan komitmen pemerintah terhadap perempuan sebagai kelompok rentan dalam bencana yang merupakan kondisi krisis kesehatan. Tapi yang paling penting adalah implementasi pedoman tersebut. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan masyarakat harus berkomitmen dalam implementasi pedoman tersebut.
Pemerintah tidak hanya wajib memiliki program mitigasi bencana yang baik, tapi juga memberikan pendidikan berkesinambungan pada segala lapisan masyarakat di daerah rawan bencana.The Conversation
Ernawaty, Lecturer at Department of Health Policy and Administration, Faculty of Public Health, Universitas Airlangga
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.