Saat Odysseus bersama pasukannya mengendap-endap dan diam di dalam kuda Troya, mereka terlena. Dianggapnya mereka sudah menang. Maka perayaan dimulai. Malam harinya penduduk kota Troya pesta pora, makan minum dan mabuk-mabukan sampai larut malam.
Tidak sadar jika malam itu adalah akhir dari cerita kenikmatan duniawi mereka. Odysseus, Agapenor, Diomedes, Menelaus, Piloctetes, dan puluhan lainnya keluar dari kuda troya kayu itu untuk membakar dan membuka gerbang kota. Kemudian dengan beringas pasukan Sparta itu membunuh habis penduduk kota dan punahlah kehidupan Troya saat itu.
Penuh Keraguan Dalam Melakukan Prioritas
Cukuplah cerita mitologi Iliad karya Homeros itu menjadi inspirasi film Hollywood “TROY” yang dibintangi Brad Pitt, dan juga “TROY: The Fall of A City” di Netflix. Di Musim pandemi yang hingga saat ini menembus angka kumulatif kasus 100.000 per 27 Juli 2020. Berdasarkan sumber resmi lansiran Satgas Covid-19 per 2 Agustus 2020 kasus positif kumulatif 111.455, dengan tingkat kesembuhan 61,88%. Jumlah yang wafat tercatat 5.236 jiwa, termasuk didalamnya tenaga medis, paramedis dan kesehatan.
Namun, tingginya kasus baru yang terjadi yaitu dikisaran 1000-an konfirmasi positif memperlihatkan jika transmisi penularan masih terjadi terus. Jumlah tes juga menyisakan ketimpangan antar daerah. Ini dipahami sebagai tidak meratanya kapasitas fasilitas tes. Ketimpangan tenaga, fasilitas kesehatan dan lainnya sejatinya juga bukan masalah baru di Indonesia. Pandemi ini menguak semuanya dengan mata telanjang.
Bulan lalu gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 dibubarkan, praktis setelah Perpres 82/2020 diteken Presiden, wajah pak Doni monardo dan pak Yuri tidak akan dominan memenuhi media. Gugus Tugas ini dilebur ke dalam Komite Nasional. Komite Nasional mempunyai kapasitas dan peran lebih besar dari Gugus Tugas. Namun jika dicermati dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Nampak bahwa semakin kesini, upaya pengarusutamaan kesehatan masyarakat dalam penanganan pandemi semakin ditinggalkan. Narasi yang seharusnya “atasi pandemi pulihkan ekonomi rakyat” terlihat dominan “pulihkan ekonomi untuk mengatasi pandemi”.
Disisi yang lain persepsi risiko masyarakat masih cenderung rendah. Banyak hal yang mendorong ini. Salah satunya karena kebijakan pemberlakukan “new normal” yang kemudian diubah menjadi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB). Banyak lainnya adalah soal merebaknya misinformasi dan disinformasi Covid-19. Seperti survei yang tidak lama kemarin dilakukan oleh NTU dan Lapor Covid-19.
Kebutuhan ekonomi kenyataannya tidak dapat lagi ditunda untuk segera dipenuhi. Jika Eropa sudah babak belur sebelumnya dengan kebijakan lockdown. Saat itu kita masih bimbang, dan tidak memilih opsi ini. Dengan alasan ekonomi pula kemudian kebijakan karantina wilayah tidak dipilih. Kebijakan ini sebelumnya dibenarkan dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular yang juga dikuatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1991 tentang penanggulangan wabah penyakit menular.
Kenyataannya menurut riset CSIS yang melakukan perhitungan matriks keadaan ekonomi dan kesehatan, maka secara nasional sebenarnya pergerakan ekonomi tidak diikuti oleh membaiknya kondisi kesehatan (kuadran II). Walaupun sebenarnya memberikan opsi ekonomi atau kesehatan sudah terlambat. Eropa sudah masuk pada fase pemulihan, walaupun mereka babak belur namun ada optimisme publik karena kasus sudah dapat terkontrol (dibeberapa negara). Ekonomi mulai dapat dipulihkan. Namun, kondisi Indonesia agaknya sangat gamang.
Mobilitas penduduk juga menunjukkan aktivitas yang kian naik, seiring pola transmisi penularan yang juga kian kentara hadir ditengah aktivitas ekonomi itu sendiri. Cluster di perkantoran, pabrik dan sekolah/universitas pun hadir ditengah keruwetan “birokrasi” penanganan pandemi.
Nyatanya Kita Belum Aman dari Pandemi
Beberapa kondisi dilapangan menunjukkan beberapa klaster penularan mulai bergeser mengikuti ragam aktivitas. Sebut saja merebaknya cluster Covid-19 di perkantoran Jakarta, kemudian klaster di pusat pendidikan dan pelatihan militer di Jawa Barat, serta klaster di perguruan tinggi di Makasar dan Surabaya. Ini sejalan dengan kembali normalnya aktivitas masyarakat, masih belum tingginya persepsi risiko dan belum optimalnya pelaksanaan protokol kesehatan di lingkungan perumahan, sarana publik dan tempat kerja.
Melihat demikian, maka sudah amankah kita dari penularan Covid-19 ini?Tentu saja belum. Alih-alih patuh kepada protokol kesehatan, jangan-jangan kita mencontoh kecerobohan penduduk kota Troya. Musim pandemi belum selesai sama sekali. Puncak belum tampak. Apalagi gelombang kedua.
Sudah seharusnya dan wajib dari kita untuk tetap waspada dan komitmen menerapkan protokol kesehatan tanpa kecuali.