Layakkah Pajak Minuman Tinggi Gula dan Karbonasi Diberlakukan?

RINGKASAN EKSEKUTIF
Tingginya konsumsi minuman berpemanis di Indonesia yang mencapai 85,6% dimana setiap tahunnya mengalami peningkatan mengharuskan pemerintah untuk membuat kebijakan cukai pada minuman berpemanis tinggi gula dan karbonasi dan mengutamakan kesehatan masyarakat mengingat kesehatan masyarakat merupakan investasi jangka panjang untuk masa depan sebagaimana yang terdapat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai. Kebijakan menjadikan minuman karbonasi ini sebagai barang kena bea cukai nantinya akan menguntungkan pemerintah karena minuman ringan berkarbonasi dapat meningkatkan penerimaan cukai bahkan lebih besar dari cukai pada MMEA dan etil alcohol. Upaya pengendalian ini terbukti efektif di beberapa negara hingga 20%.

PENDAHULUAN
Di berbagai negara terutama negara di bagian barat dunia, mengkonsumi minuman kemasan secara rutin memberikan peran pentig dalam berbagai masalah kesehatan. sebuah meta analisis menunjukan bahwa terjadi peningkatan konsumsi minuman kemasan berpemanis gula secara global sebesar 17% per tahun. Secara global, distribusi penderita glukosa darah puasa terganggu (GPT) sebesar 23%, TGT sebesar 61% dan yang penderita keduanya sebesar 16%. Indonesia penyumbang kelima penderia TGT dalam dua tahun terakhir. Tahun 2016 lebih dari 1,9 miliar orang dewasa kelebihan berat bedan dan lebih dari 650 juta orang mengalami obesitas. Penyakit diatas merupakan bagian dari penyakit tidak menular yang dapat menyebabkan kematian sebanyak 41 juta orang per tahun atau sebesar 71% dari seluruh kematian secara global. (Correlation and Beverages, no date; Lumbuun and Kodim, 2017; Masyarakat, 2019)

Di Indonesia dari tahun 2010 sampai dengan 2014, mengalami kenaikan pada konsumsi minuman berkarbonasi mencapai 85,6%. Tahun 2010 sebanyak 515 juta liter sampai tahun 2014 mencapai 956 juta liter. Upaya pengendalian dampak konsumsi minuman berkarbonasi ini adalah melalui cukai yang dilakukan oleh beberapa negara seperti Prancis, Meksiko, Thailand, Laos, serta beberapa kota di Amerika yaitu Colorado, tiga kota baru di area teluk (San Fransisco, Oakland dan Albany), wilayah cook di Illnois, Barkeley California dan Philadelphia Pennyslavina. Indonesia sebenarnya memiliki dasar hukum pengendalian barang-barang yang berdampak negative bagi masyarakat melalui cukai. Aturan tersebut tertuang dalam Undang-undang №39 tahun 2007 pasal 2 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa barang tertentu dikenakan cukai yang mempunyai sifat atau karakteristik:“Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup” (Mutaqin, 2018)

Pada tahun 2016, wacana untuk mengenakan cukai minuman berkarbonasi akan pernah direalisasikan. Dalam skenario awalnya, Pemerintah menjelaskan ada 5 alternatif pengenaan cukai minuman berkarbonasi. Alternatif pertama, dengan tarif Rp1.000, besaran cukai per harga 12%, potensi penerimaan sebesar Rp79 miliar. Alternatif ke-2, dengan tarif Rp2.000, cukai per harga 23%, berpotensi menambah penerimaan negara sebesar Rp1,58 triliun. Tarif ke-3, dengan tarif Rp3.000, cukai per harga 35%, berpotensi menambah penerimaan negara Rp2,37 triliun. Tarif ke-4, dengan tarif Rp4.000, cukai per harga 47%, dengan potensi penerimaan Rp3,16 triliun. Terakhir, tarif ke-5 dengan tarif Rp5.000, cukai per harga 58%, dengan potensi penerimaan sebesar Rp3,95 triliun. (Haryanto, 2016)

METODE
Metode yang digunakan adalah telaah literatur terpilih dan konten berita daring terhadap prospek peraturan pemerintah mengenai penetapan pajak pada minuman berpemanis tinggi gula dan karbonasi. Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor per-20/BC/2018 tentang Bentuk fisik dan/atau spesifikasi desain pita cukai hasil tembakau dan pita cukai minuman yang mengandung etil alcohol tahun 2019. Selain itu, juga mengingat tingkat konsumsi minuman karbonasi yang masih tinggi di Indonesia.

DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Kami menelaah beberapa regulasi mengenai cukai yang sudah ada dan ditetapkan di Indonesia yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai pada Pasal 2

Apa isi peraturan tersebut?
Pada pasal 2 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 Tentang Cukai membahas mengenai barang yang dikenai cukai mempunyai karateristik atau sifat yaitu a. konsumsinya perlu dikendalikan, b. peredarannya perlu diawasi, c. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negative bagi masyarakat atau lingkungan hidup atau d. pemakaiannya perlu pembebanan negara demi keadilan dan keseimbangan. (RI and RI, 2007)

Apa yang timbulkan jika cukai pada minuman berpemanis tinggi gula tidak segera dilaksanakan?
Berdasarkan karateristik barang yang di kenai cukai, maka seharusnya mengenai cukai terhadap minuman berpemanis karena konsumsi minuman berpemanis terbukti meningkatkan risiko berbagai penyakit terkait dengan kardiovaskular maupun metabolisme seperti obesitas, diabetes melitus, gangguan jantung, dan penyakit lainnya. Hal ini menjadi salah satu urgensi bagi pemerintah untuk mengatur regulasi terkait cukai pada minuman berpemanis. WHO (World Health Organization) (2016) merekomendasikan kebijakan fiskal sebagai strategi prevensi untuk menekan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) salah satunya yaitu pengenaan cukai pada minuman berpemanis serta kandungan nutrisi yang tidak menyehatkan (garam, gula, dan lemak trans) dan makanan tidak menyehatkan.

Seperti apa kajiannya?
Penerapan cukai minuman berpemanis di Hungaria melalui kebijakan Public Health Product Tax (PHPT) dinilai telah menurunkan konsumsi minuman berpemanis sebesar 26–32% (WHO, 2016). Lebih lanjut, penerapan cukai di Meksiko juga mampu mengurangi konsumsi minuman berpemanis hingga 17%, terutama pada konsumen dari kalangan ekonomi rendah. Di Australia, diperkirakan adanya pajak 20% terhadap minuman berpemanis dapat menurunkan konsumsi hingga 124 gram/hari pada laki-laki dan 67 gram/hari (Hodge, dkk, 2018). Langkah ini juga mendukung adanya kesadaran masyarakat tentang penyakit-penyakit. Indonesia sendiri estimasi penerimaan pajak dan penghasilan tenaga kerja dari industry minuman berkarbonasi sebesar Rp. 1,7 triliun. Bila dibandingkan dengan kerugian akibat penyakit yang ditimbulkan, minuman berkarbonasi sangat jauh besar kerugiannya mencapai 39,5% triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, sudah pernah membahas mengenai cukai pada minuman berpemanis ini sebagai upaya pengendalian penyakit diabetes dan menambah pemasukan negara, tetapi banyak menimbulkan reaksi. Seperti yang di ungkapkan oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman, beliau menolak mentah mentah usulan dari Mentri Keuangan tersebut.

“Kami menyesalkan di tengah situasi ekonomi sedang jelek, akan menambah beban industri,” ujar Adhi S Lukman kepada BBC, Kamis (20/02).
“Pengenaan cukai ini akan menurunkan penjualan dan menurunkan penerimaan negara karena dari pph badan, pph 21, dan ppn akan turun drastis. Sehingga antara penerimaan cukai dan pengurangan pajak-pajak lain, ya lebih besar pengurangan pajak” (Adhi S. Lukman)

Menurut Adhi S, tarif cukai yang diusulkan oleh Mentri Keuangan yaitu sebesar Rp. 1.500,- per liter pada minuman berpemanis, dan Rp. 2.500,- per liter pada minuman berkarbonasi akan sangat memberatkan para pengusaha. Katanya akan menaikan harga penjualan sekitar 30%-40%.

Mengkaitkan dengan kesehatan, dalam penelitian yang telah dilakukan semakin tinggi tariff cukai maka konsumsi harian minuman karbonasi akan semakin menurun. Maka prevalensi penyakit diabates juga akan bisa dikendalikan. Kebijakan menjadikan minuman karbonasi ini sebagai barang kena bea cukai nantinya juga akan menguntungkan pemerintah sejalan dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya bahwa minuman ringan berkarbonasi dapat meningkatkan penerimaan cukai bahkan lebih besar dari cukai pada MMEA dan etil alcohol. Membuat kebijakan mengenai pembiayaan cukai pada minuman beropemanis dan karbonasi ini efektif hingga 20% untuk mengurangi konsumsi minuman berpemanis pada semua lapisan golongan masyarakat. Seiring dengan peningkatan harga produk, maka orang-orang ini akan berpikir kembali untuk mengonsumsi minuman berpemanis ini. (Mutaqin, 2018), (Schaller & Mons, 2017).

IMPLIKASI
Jika teknis penyelenggaraan kebijakan pajak pada minuman tinggi gula dan berkarbonasi belum diterapkan, maka akan berprospek meningkatkan jumlah penderita yang mengalami gangguan kesehatan di masyarakat yang mengancam kesehatan mereka dalam jangka panjang.

KESIMPULAN
Mengkonsumi minuman berpemanis tinggi gula dan karbonasi secara rutin dapat menimbulkan masalah kesehatan yang berdampak panjang. Indonesia sebagai salah satu pengkonsumsi minuman tinggi gula dan karbonasi, sepanjang tahun 2010 sampai tahun 2014 selalu mengalami peningkatan konsumsi yakni mencapai 956 juta liter. Kebijakan mengenai cukai minuman berpemanis ini sudah pernah di bicarakan pada tahun 2016 dengan berbagai macam tarif yang ditentukan. WHO merekomendasikan kebijakan ini sebagai salah satu langkah preventif dalam menekan prevalensi penyakit tidak menular. Penerapan cukai di berbagai negara yang sudah menerapkan seperti Hungaria mampu mengurangi konsumsi gula sebesar 32%, di Meksiko pengurangan konsumsi gula sebesar 17% dan juga negara-negara lain yang sudah menerapkan, kebijakan ini sangat efektif dalam menekan konsumsi minuman berpemanis tinggi gula dan karbonasi.

REKOMENDASI
1. Pemerintah dapat melakukan intervensi melalui pajak yang khusus untuk mengoreksi dampak dan suatu eksternalitas negatif lazim disebut Pajak Pigovian (Pigovian Tax). Bentuk Pajak Pigovian yang paling sesuai untuk minuman berpemanis adalah pengenaan cukai.
2. Kebijakan pemungutan cukai atas minuman berpemanis ini untuk alasan kesehatan merupakan cara yang efektif apabila tidak ada barang substitusi yang tersedia.

DAFTAR PUSTAKA
Correlation, T. and Beverages, B. S. (no date) ‘HUBUNGAN KONSUMSI SUGAR-SWEETENED BEVERAGES DENGAN KEJADIAN Diabetes mellitus PADA LANSIA’, pp. 49–56. doi: 10.20473/mgi.v13i1.49.

Haryanto, J. T. (2016) ‘menggagas cukai minuman karbonasi’.

Hodge, A., Bassett, J., Milne,R., English, D., & Giles, G. (2018). Consumption of Sugar-Sweetened and Artificially Sweetened Soft-Drinks and Risk of Obesity-Related Cancers. Public Health Nutrition, 21(9), 1618–1626.

Lumbuun, N. and Kodim, N. (2017) ‘Pengaruh Konsumsi Fruktosa pada Minuman Kemasan terhadap Toleransi Gluk osa Terganggu pada Kelompok Usia Muda di Perkotaan di Indonesia Influence of Fructose Consumption in Softdrinks / Beverages on Impared Glucose Tolerance in Young Adult in Indonesian U’, 1(2), pp. 19–23.

Masyarakat, B. K. (2019) ‘Efek Ɵ vitas menggunakan pajak minuman manis untuk mengurangi obesitas : Ɵ njauan sistema Ɵ s’, 35(4), pp. 147–153.

Maya, Deacy, (2013), Analisis Kebijakan Kenaikan Tarif Cukai dan Penyesuaian Batasan Harga Jual Eceran Hasil Tembakau (Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor. 179/PMK.011/2012). FISIP Universitas Indonesia, Depok.

Mutaqin, Z. Z. (2018) ‘Dinamika Aspek Kesehatan dan Ekonomi dalam Kebijakan Pengendalian Minuman Berkarbonasi di Indonesia’, 1(1), pp. 26–37.

RI, D. and RI, P. (2007) ‘UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI’, Ятыатат, вы12у(235), p. 245.

Schaller K, & Mons, U. (2018). Tax on Sugar Sweetened Beverages and Influence of the Industry to Prevent Regulation. Ernahrungs Umschau 65(2): 34–41.

WHO (World Health Organization). (2016). Fiscal Policies for Diet and Prevention of Noncommunicable Diseases. Technical Meeting Report.

Minuman berpemanis diusulkan kena cukai: Ditolak pengusaha tapi didukung dokter

Penulis: Ulva Larissa, Yuni Kusuma Wati
Editor: Ilham Akhsanu Ridlo