Mengelola Komunikasi Risiko di Era COVID-19

Butuh kemampuan memadukan evidence-based, accessibility and openness, dan strategic communication.

Ketiganya itu tidak bisa diakuisisi oleh pemerintah saja. Pemerintah harus menggandengan dan memberikan tempat bagi para ahli, dan publik yang mungkin keterwakilannya diwakili oleh ormas (termasuk ormas agama). Ini sebuah upaya kolaboratif. Tidak berjalan sendiri-sendiri. Kolaboratif itu membagi peran tidak menguasai peran.

Jika dilihat dari model komunikasi risiko ini maka ada beberapa gap yang timpang. Menurut saya selain kolaboratif juga permasalahan di sisi ‘accessibility and openness’. Ini menyangkut soal transparansi informasi publik dan akses publik terhadap informasi yang benar. Benar itu ya informasi yang jujur. Kejujuran terkadang pahit tapi ini menguatkan kepercayaan publik dan meningkatkan ‘awareness’ dan semangat kolaboratif (jika dibarengi dengan sinergisitas pemerintah, ahli, dan entitas lainnya).

Lalu sebagai lainnya adalah masalah ‘strategic communication’ kurang diarahkan ke pemahaman ‘scientific explanation’ tapi lebih kepada keuntungan popularitas. Ini bahaya. Sebut saja beragam informasi yang bisa mengakibatkan misleading dari para ahli ke entitas publik (awam). Misalnya polemik soal disinfeksi, polemik soal penggunaan masker, polemik soal empon-empon, soal macam-macam kasiat obat dan lainnya.

Ini bukan tugas mudah, tapi bisa segera dilakukan. Jika tidak maka punya implikasi yang buruk terhadap kelanjutan penanganan Covid-19.

Pencitraan tidak akan pernah kekal. Keterbukaan menguatkan dan mendorong kesadaran bersama.

Citation:
Zhang, L.; Li, H.; Chen, K. Effective Risk Communication for Public Health Emergency: Reflection on the COVID-19 (2019-nCoV) Outbreak in Wuhan, China. Healthcare 2020, 8, 64.

Penulis: Ilham Akhsanu Ridlo