Awal 2021, Indonesia kembali mengalami lonjakan kasus terkonfirmasi Covid-19. Oleh karena itu, pemerintah kembali memberlakukan kebijakan PSBB, atau yang sekarang disebut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa-Bali pada 11–25 Januari 2021.
Pakar Biostatistika Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr Windhu Purnomo dr MS mengatakan, kebijakan tersebut tepat dilakukan untuk menekan penularan virus Covid-19. Meski demikian, ada catatan yang harus diberikan. Pembatasan mobilitas masyarakat bisa menjadi salah satu upaya pencegahan penularan virus yang dapat dengan mudah menularkan melalui interaksi jarak dekat.
Inisiator Tim Advokasi PSBB & Surveilans Covid-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair itu menjelaskan, pelaksanaan PPKM hendaknya dilakukan secara serentak di seluruh Jawa-Bali. Hal tersebut dimaksudkan untuk menekan penularan Covid-19 secara total.
“Kalau kita mau membatasi pergerakan, itu yang betul-betul harus dilakukan di seluruh wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Misalnya, Surabaya sekarang PSBB, yang lainnya tidak, nanti ada DKI Jakarta juga PSBB tapi Bekasi dan Depok tidak, percuma saja. Jadi, artinya PSBB itu namanya parsial dan yang terjadi penularan akan pingpong atau gampangnya itu penularan akan bolak-balik saja,” jelas Windhu.
Windhu mengungkapkan, jika memang pembatasan dilaksanakan di daerah tertentu dan pergerakan tetap berjalan, hendaknya yang boleh beraktivitas hanya sektor yang esensial. Yaitu, sektor yang berkenaan dengan kebutuhan bahan pokok dan pom bensin sebagai penyedia energi untuk distribusi logistik.
“Tapi, nyatanya, kan, yang direncanakan pemberlakuan seperti jam malam sampai pukul 7 malam. Restoran dibatasi, tetapi orang yang boleh makan di tempat 25 persen. Beribadah di gereja, di masjid 50 persen saja. Sektor non-esensial masih dibuka dan pergerakan tetap berjalan,” kata dosen FKM Unair itu.
Baginya, PPKM merupakan pilihan, jika tidak melaksanakan, boleh saja. Namun, pemerintah harus melakukan pencarian kasus sebanyak mungkin melalui testing dan tracing yang saat ini sangat lemah. Dengan begitu, penularan akan terkendali dengan baik karena telah terdeteksi.
“Sekarang, banyak kasus di bawah permukaan yang belum terdeteksi, yang diumumkan hanya puncak gunung es. Indonesia kemarin umumkan ada 9.000 kasus per hari, apa memang cuma 9.000 Indonesia itu di masyarakat mungkin bisa 5 sampai 10 kali lipat itu sesungguhnya. Tapi, kita tidak mampu mendeteksi karena testing kita rendah, tracing kita jelek,” paparnya.
Selain itu, ada juga tugas yang tak kalah penting. Yaitu, mengembalikan kedisiplinan masyarakat dengan melakukan kontrol protokol kesehatan 3M (mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak). Juga membuat gerakan masyarakat dengan memberdayakan para kader yang sudah ada, seperti kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), kader kesehatan, dan kader Keluarga Berencana (KB).
Gerakan masyarakat dilakukan untuk saling mengingatkan antarwarga sehingga penanganan wabah Covid-19 ini sebagai gerakan masyarakat yang bukan sekadar program pemerintah. (*)
Sumber: https://unair.kompas.id/2021/01/13/pakar-biostatistika-epidemiologi-unair-sebut-testing-dan-tracing-sebagai-pilihan-selain-ppkm-jawa-bali/