Penyebaran hepatitis A di Pacitan: apa pemicunya dan bagaimana hindari penularan?

 
Lebih dari 900 orang di Pacitan, Jawa Timur diserang oleh penyakit hepatitis A pada pertengahan hingga akhir Juni lalu.
Walau tak ada korban jiwa, penyebaran penyakit yang dikategorikan sebagai kejadian luar biasa (KLB) itu cukup mengkhawatirkan. Infeksi virus itu diduga karena warga di sana mengkonsumsi air bersih yang tercemar. Di sepanjang aliran sungai Sukorejo di Pacitan, sumber air bersih masyarakat setempat, banyak limbah rumah tangga mengalir ke sungai tersebut. Tim investigasi dari Kementerian Kesehatan telah diterjunkan untuk menyelidiki lebih lanjut penyebaran penyakit tersebut dan memeriksanya di laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Sebagai pencegahan, Kementerian Kesehatan mengimbau masyarakat di lokasi tersebut menjaga kebersihan melalui perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) seperti mencuci tangan sebelum makan, menggunakan dan membersihkan jamban, dan menggunakan air bersih yang bebas dari polusi.
Dalam jangka pendek, beberapa titik sumber air minum di sana diberi kaporit untuk membasmi kuman penyakit dan mencegah penularan virus lebih luas. Untuk jangka panjang, vaksinasi untuk hepatitis A dapat digunakan sebagai salah satu pencegahan terhadap penularan dan infeksi.
Kejadian di Pacitan itu memperkuat sebuah hasil penelitian Balitbangkes. Riset yang menggunakan data Riset Kesehatan Dasar 2013 itu menyebutkan faktor sanitasi, yakni tidak mencuci tangan saat akan makan dan pengelolaan air bersih yang buruk berkaitan erat dengan tingginya angka kejadian penyakit hepatitis A.
Faktor lain yang mendorong tingginya penyakit hepatitis A adalah fasilitas sanitasi lingkungan rumah yang tidak bersih, pengolahan makanan dan minuman yang tidak higienis, serta tempat buang air besar yang kotor.

Dari mana muncul hepatitis?

Hepatitis adalah penyakit peradangan hati yang disebabkan oleh virus hepatitis. Selain itu, infeksi oleh alkohol, obat-obatan tertentu, dan penyakit autoimun (sistem kekebalan tubuh yang menyerang sistem daya tahan tubuh sendiri) juga dapat menyebabkan hepatitis.
Virus hepatitis merupakan penyebab hepatitis yang paling umum di dunia. Ada 5 virus hepatitis utama, yaitu tipe A, B, C, D, dan E. Lima tipe ini menjadi perhatian besar karena beban penyakit dan kematian yang ditimbulkannya serta potensi penyebaran dan penyebaran epidemi. Di dunia setiap tahun 1,5 juta orang meninggal karena hepatitis.
Hepatitis B, C, dan D biasanya terjadi akibat kontak dengan cairan tubuh (selain saluran pencernaan) yang terinfeksi melalui penerimaan darah, dari ibu ke bayi saat lahir, dan juga seksual. Sedangkan hepatitis A dan E ditularkan melalui saluran pencernaan yang pada umumnya disebabkan oleh konsumsi makanan atau air, dan lingkungan yang terkontaminasi.

Masih endemik di negara berkembang

Penyakit yang mirip dengan gejala hepatitis A pertama kali dikenal sejak 5.000 tahun lalu di Cina dengan sebutan “Epidemic Jaundice” (penyakit kuning yang mewabah). Secara resmi, disebut penyakit Hepatitis A pada abad ke-17 dan pertama kalinya dilaporkan sebagai penyebab kejadian luar biasa di Amerika Serikat pada 1812.
Hingga saat ini, penyakit hepatitis A masih endemik terutama di negara berkembang yang memiliki sanitasi buruk seperti di Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kekebalan tubuh (imunitas) terhadap virus hepatitis A.
Untuk orang yang bepergian ke Indonesia, vaksinasi virus hepatitis A (HAV) umumnya direkomendasikan oleh beberapa negara dalam pedoman pengobatan perjalanan mereka terutama untuk orang dewasa. Selain itu penyebaran hepatitis A bisa terjadi ke dan dari Indonesia oleh para wisatawan.
Di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika dengan kondisi sanitasi yang baik, angka kejadian Hepatitis A rendah. Namun jalur perdagangan dan perjalanan internasional menjadi penyebab terjadinya KLB penyakit hepatitis A di beberapa negara. Pada 2016, di Amerika Serikat diperkirakan ada 4.000 orang menderita penyakit hepatitis A.

Kebal setelah kena

Periode inkubasi hepatitis A adalah 14-28 hari, tidak fatal, dan sangat jarang mengakibatkan infeksi kronik, tapi menjadi penyebab gagal hati akut yang fatal. Dari perkiraan Badan Kesehatan Dunia (WHO), angka kematian di dunia untuk hepatitis A berkisar 0,5%.
Sebenarnya, infeksi hepatitis A bisa sembuh sendiri sehingga tidak perlu pengobatan spesifik. Tetapi, untuk kasus tertentu disertai gejala mual, obat acetaminophen atau paracetamol bisa diberikan.
Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pengobatan untuk infeksi akut hepatitis A lebih mahal dibandingkan dengan pencegahan yang biasa dilakukan dengan vaksinasi.
Sebagian besar orang dewasa yang terkena hepatitis A memiliki gejala berikut: kelelahan, nafsu makan rendah, sakit perut, mual, dan penyakit kuning. Masalah ini biasanya sembuh dalam 2 bulan setelah infeksi.
Sedangkan penderita pada anak-anak di bawah 6 tahun tidak memiliki gejala atau memiliki infeksi seperti pada orang dewasa, tetapi menjadi sumber penularan bagi orang lain.
Setiap orang yang sudah terkena virus hepatitis A akan memiliki antibodi atau imunitas terhadap infeksi hepatitis A. Imunitas ini bertahan seumur hidup dan melindungi dari infeksi ulang virus hepatitis A.

Menurunkan infeksi

Pada skala global, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempunyai strategi untuk menurunkan infeksi baru oleh virus hepatitis A sebanyak 90% dan mengurangi kematian akibat virus hepatitis ini sebesar 65% pada 2030.
Strategi itu ditempuh dengan meningkatkan kesadaran, mempromosikan kerja sama lintas sektor (kesehatan, penelitian, pendidikan), dan memobilisasi sumber daya, merumuskan kebijakan dan data berbasis bukti untuk tindakan lanjut, mencegah penularan, serta meningkatkan pelayanan dan perawatan pasien.
Untuk langkah cepat, pencegahan penyakit hepatitis dapat dilakukan dengan menciptakan sanitasi dan kebersihan yang baik di tempat tinggal dan lingkungan, menerapkan pola hidup sehat bersih, dan vaksinasi hepatitis A.The Conversation
 
Hana A Pawestri, Researcher at Virology Laboratory, National Institute of Health Research and Development (NIHRD), Ministry of Health Indonesia
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.