The Next “Pandemic”: A Clash of Expertise
Yak mari kita mulai. Alih-alih bekerjasama, sebagian orang yang ahli memilih “eker-ekeran” di tempurung bernama ilmu pengetahuan. Kalimat sebelumnya adalah kata-kata yang saya tulis di beranda sosial media. Bukan tanpa sebab. Ada beberapa kegelisahan yang saya rasakan beberapa minggu terakhir ini. Konteksnya seputar pandemi. Kegelisahan saya ini semakin diperkuat setelah sesi dialog Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla. Dialog adalah ‘bocoran’ dari buku terbitan Mizan dengan judul Sains “Religius”, Agama “Saintifik”. Syahdan, kemarin ada petikan kalimat yang menjadi catatan bagi saya dari paparan Gus Ulil di slide terakhirnya. The Ethics of Humility and Openness. Kegelisahan saya kurang lebih begini.
Dalam konteks penanganan pandemi, mulai tampak beberapa bentrokan kepakaran. Hal ini terjadi karena tidak tuntasnya pemberitaan yang dirilis, baik oleh pemerintah, institusi, akademisi, saintis, jurnalis. Rilis pers ini sering gagal menyangkut persoalan diseminasi (komunikasi) hasil studi kepada publik. Kegagalan ini melahirkan konsekuensi penting. Salah satunya munculnya ‘bentrokan’ — “a clash of expertise” — antar pakar/ahli.
Ragam pertentangan yang melibatkan pendekatan multidisplin ini sering kali berujung pada kericuhan di lini masa sosial media. Alih-alih menjawab ragam persoalan yang perlu diketahui publik, para saintis (sering) terjebak dalam tempurung perdebatan ilmiah. Kemudian dengan sendirinya melupakan esensi dari muara aktivitas ilmiah ini untuk siapa.
Kesalahan saintis jamak dimulai dari pemilihan fokus studi. Saintis terlalu berfokus pada hasil studi tunggal (single study) tanpa melihat konteks studi lain atau studi yang ada sebelumnya. Seyogyanya saintis dengan penuh kerendahan hati mengakui jika temuan yang ia dihasilkan bukanlah hal yang baru. Dewasa ini jarang dijumpai sebuah studi yang dilakukan oleh saintis adalah temuan pionir dalam cabang ilmunya. Komunitas ilmiah jarang meyakini bahwa studi tunggal (single study) merupakan sebuah studi yang definitif (tetap). Misalnya sampai artikel ini ditulis belum ada satu obat dan tindakan terapi yang definitif untuk Covid-19.
Hal lainnya, saintis terlalu menekankan temuannya (overemphasis) pada hasil, lupa melihat efek yang relatif ditentukan oleh konteks studi ilmiahnya. Lebih lanjut lagi saintis tidak mengakui keterbatasan studi yang ia lakukan. Keterbatasan studi sering tidak terekspos oleh khalayak luas. Sehingga jika ada sebuah argumentasi atau sanggahan dari sainstis lainnya, publik cenderung melihat hasil riset yang baru sebagai riset tandingan. Bukan riset yang melengkapi riset dari saintis terdahulu.
Permasalahan lain adalah saintis juga terlibat pada perilaku penyajian hasil studi ilmiah yang tidak lengkap dan belum ditinjau komunitas ilmiah secara memadai. Tinjauan sejawat (peer-reviewed) utamanya jika dilakukan dengan terbuka (open peer-reviewed) dipandang sebagai sebuah jalan komunikasi akademik/ilmiah (scholarly communication) yang efektif. Efek baiknya publik akan disuguhi sebuah argumentasi yang utuh.
Memang terkait dengan model komunikasi ilmiah ini, komunitas ilmiah masih bergantung pada media di kolom-kolom jurnal ilmiah. Walaupun demikian sebagai alternatif, dengan adanya ragam sosial media — twitter misalnya — diskusi ilmiah dapat ‘diseret’ ke ranah publik. Tentu dengan penyampaian komunikasi sains yang lebih membumi.
Bentrokan (clash) saintis selama pandemi Covid-19 ini, sampai saat ini masih kita lihat. Sebagai contoh “perlombaan” saintis untuk menemukan obat baru (definitif) atau kombinasi obat baru termasuk terapinya. Sebut saja Remdesivir, Dexamethasone dan Hydroxychloroquine. Kemudian riset Vaksin yang diikuti oleh puluhan pusat penelitian di dunia.
Argumentasi ilmiah yang dilontarkan saintis harus dipandang sebagai bentuk demokratisasi ilmu pengetahuan, namun kewajiban saintis juga harus mendorong adanya peningkatan literasi publik. Kewajiban itu juga disertai dengan menjaga kerendahan hati dan etika ilmu pengetahuan. Bahwa hasil studi ilmiah harus mengutamakan kemanfaatan dan kemaslahatan publik luas. Tidak saja mendongkrak popularitas pribadi dan golongan.
Sainstis dan Media: Ciptakan Kolaborasi Tanpa Bentrokan
Rilis berita tentang pandemi di media cetak dan elektronik seringkali memang dibuat dengan pesan sederhana untuk mempermudah awam memahami konteks ilmiah yang rumit. Namun jika penjelasan ini mengesankan pesan-pesan ‘provokatif’ dengan didasarkan hanya pada satu studi/temuan tunggal maka akan berdampak buruk. Dampak buruk ini memicu benturan antar saintis.
Risma Klaim Surabaya Berubah Jadi Zona Hijau Covid-19, Ini Penjelasannya
SURABAYA, KOMPAS.com – Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengklaim, wilayahnya telah berubah menjadi zona hijau…
regional.kompas.com
Epidemiolog Minta Surabaya Urungkan Rencana Buka Sekolah
Pakar epidemiologi mengingatkan bahwa Surabaya masih zona merah. Bahkan dengan status zona hijau pun, pembukaan sekolah…
www.cnnindonesia.com
Rilis yang dimaksud tersebut mempunyai pengaruh besar pada penggunaan obat, dampak ekonomi, wacana politik, dan kebijakan. Proses pengambilan keputusan medis, politik, dan ekonomi yang lebih terinformasi dan rasional bagi publik seharusnya juga menjadi konsen bagi saintis, informasi yang baik dapat juga dihasilkan dengan kolaborasi bersama jurnalis sains.
Bagi saintis dan jurnalis sains, independensi dapat dilakukan dengan mengutamakan prinsip keterbukaan dan ketelitian. Saintis juga harus memperhatikan konteks, membandingkan dengan temuan dari penelitan lain. Juga bersedia dengan jujur mengakui keterbatasan studinya.
Kepercayaan pada Saintis
Pandemi Covid-19 telah menciptakan banyak tantangan bagi komunikasi sains. Sesungguhnya hal ini bukanlah hal yang baru — ingat kejadian pandemi sebelumnya — karena persoalan ini pernah terjadi sebelumnya dan mungkin akan terus menjadi tantangan di masa depan.
Ibarat sebuah perlombaan, Pandemi ini melahirkan sebuah turnamen yang berlangsung secara pararel. Satu sisi, saintis sedang ditantang untuk memecahkan pertanyaan tentang virus SARS-Cov 2 dan segera mungkin merilis hasil studinya. Sisi lainnya, sainstis juga dituntut untuk memperhatikan telaah sejawatnya, pun juga bagi jurnalis yang dituntut oleh intensi publik yang menginginkan update informasi setiap harinya. Intensi dan atensi publik pun beragam, dari yang pro-sains sampai kontra-sains.
Kondisi ini yang menjadikan penyebaran informasi sains yang seharusnya ‘rigor’ menjadi tergesa-gesa, tidak lengkap dan berpotensi bias. Pada titik ini, kepercayaan pada sains, produk jurnalistik, kelompok ahli dan pemerintah rawan terancam.
Merespon fenomena ini, saintis sebaiknya “memperlambat” penyebaran informasi ilmiah beberapa saat sebelum menjadi konsumsi awam. Para Saintis harus menahan diri, merencanakan setiap komunikasi publik (diseminasi temuan) dengan meluangkan waktu untuk merefleksikan pentingnya kata-kata dan data yang akan dirilis. Peran jurnalis sains bisa menjadi jembatan baginya.
Jika Subcomandante Marcos berkata: “our word is our weapon”. Maka saintis saat ini sepatutnya menjaga senjatanya masing-masing agar tidak memuntahkan peluru tak bertuan.
Penulis: Ilham Akhsanu Ridlo