RINGKASAN EKSEKUTIF
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan isu sosial yang kerap kali terjadi di Indonesia, terutama pada perempuan. Kasus KDRT sering tidak dapat ditangani dengan tuntas. Sebagian orang menganggap KDRT merupakan masalah pribadi rumah tangga. Dalam kasus KDRT Korban memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, salah satunya adalah akses terhadap pelayanan kesehatan. Naskah kebijakan ini bertujuan untuk mempelajari isu dan permasalahan KDRT di Indonesia dikaitkan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dengan pendekatan studi literatur dan analisis kebijakan retrospektif. Hasil yang diperoleh dari telaah isu dan kebijakan ini adalah terdapat beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya pengaduan kasus KDRT oleh korban serta dukungan perlindungan, dan jaminan kesehatan. Dalam perspektif korban pemerintah telah menjamin dalam bentuk penyediaan akses kesehatan bagi korban, baik dari segi pembiayaan maupun pelayanan medis. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 telah sepenuhnya mengatur mengenai hak perlindungan korban KDRT namun, perlu adanya peningkatan kesadaran dan perubahan paradigma baik anggota keluarga, masyarakat, maupun penegak hukum mengenai keberadaan hukum KDRT dan hak-hak korban. Kerjasama lintas sektor diperlukan untuk memaksimalkan penghapusan KDRT di Indonesia.
PENDAHULUAN
Kekerasan dalam rumah tangga adalah tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami, istri, maupun anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis, dan keharmonisan hubungan sesuai yang termaktub dalam pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Ruang lingkup tindakan KDRT adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kebijakan ini termasuk dalam kebijakan pemerintah pusat.
Ruang lingkup tindakan KDRT adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Kebijakan ini termasuk dalam kebijakan pemerintah pusat.
Tidak semua tindakan KDRT dapat ditangani secara tuntas karena korban sering menutup-nutupi dengan alasan ikatan struktur budaya, agama, dan belum dipahaminya sistem hukum yang berlaku. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga membuka jalan bagi pengungkapan kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi hak-hak korban. Di mana, pada awalnya kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai area pribadi yang tidak bisa dimasuki siapapun di luar lingkungan rumah. Sepanjang empat tahun terakhir sejak diratifikasi tahun 2004, dalam perjalanannya undang-undang ini masih menyisakan beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi perempuan korban kekerasan. Selain itu juga terjadi resistensi pada sebagian kelompok masyarakat yang merasa bahwa masalah pernikahan bukanlah masalah negara.
Melalui telaah isu kebijakan ini, kami membahas lebih jauh mengenai isu kebijakan UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), mengingat masih banyak kasus yang terjadi, munculnya resistensi pada beberapa kelompok masyarakat serta pasal-pasal yang tidak menguntungkan bagi korban kekerasan. Kemudian untuk kasus penelantaran rumah tangga (anggota keluarga) juga masih terjadi, dibuktikan dengan data dari Dinas Sosial Kota Malang yang menyebutkan bahwa kasus penelantaran anak meningkat dari tahun 2018 ke tahun 2019. Sejak awal tahun 2019 hingga Agustus 2019 telah tercatat 8 anak yang ditelantarkan orang tuanya.
METODE
Telaah isu kebijakan ini adalah studi literatur dengan pendekatan analisis retrospektif. Analisis kebijakan berasal dari UU PKDRT No. 23 tahun 2004 yang menjadi dasar telaah kekerasan dalam rumah tangga dengan melihat beberapa fakta yang terjadi di masa lalu (sejak kebijakan disahkan). Selain itu terdapat literatur RUU PKS yang dibandingkan dengan UU PKDRT no 23 tahun 2004. Studi kasus diambil dari berita aktual mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Indonesia yang ditelaah dengan isi UU PKDRT no 23 Tahun 2004.
HASIL DAN DISKUSI
Telaah Aktual: Kebijakan Perlindungan Perempuan
Setiap tahun Komnas Perempuan meluncurkan Catatan Tahunan (Catahu) dalam peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh di tanggal 8 Maret. Catahu yang diluncurkan tahun 2019 berjudul “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara” merupakan dokumentasi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga pengadalayanan. Disadur dari siaran pers catatan tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin selaku Komisioner Komnas Perempuan menyebutkan bahwa di tahun 2019 ada kenaikan 14% terhadap pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu sejumlah 406.178 kasus.
Informasi tersebut diperoleh dari data yang dihimpun dari Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA), lembaga layanan mitra komnas perempuan, dan Unit Pelayanan Rujukan (UPR). Terjadinya peningkatan pengaduan mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran masyarakat untuk menyintas kasus kekerasan terhadap perempuan dan adanya perbaikan yang berarti dalam mekanisme pencatatan dan pendokumentasian kasus di beberapa layanan pengaduan.
Kasus KDRT tak pernah habis dibicarakan, terutama tahun ini seiring ramainya pembahasan RUU PKS. Salah satu kasus yang masih hangat dibicarakan di kuartal keempat tahun ini adalah penganiayaan yang dilakukan oleh pemilik hotel di Kota M. Pelaku tega menganiaya istrinya hingga mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya. Pemicu tindakan pelaku adalah jamuan nasi goreng yang diberikan istrinya secara cuma-cuma kepada beberapa temannya. Pelaku merasa bahwa tindakan tersebut dapat membuat bisnisnya rugi. Menurut korban, tindakan penganiayaan tersebut bukanlah yang pertama kali dialaminya. Pelaku kerap melakukan kekerasan terhadap korban tetapi tidak pernah dilaporkan oleh korban. Kejadian penganiayaan akibat nasi goreng merupakan pelaporan pertama korban.
Kasus lainnya yang sempat ramai diperbincangkan salah satunya mengenai penganiayaan istri Kota B. Korban merupakan tulang punggung keluarga, sedangkan suaminya tidak bekerja dan ‘berfoya-foya’ menggunakan uang korban. Selain itu, pelaku juga kerap berselingkuh dan membawa selingkuhannya ke tempat tinggal mereka. Setelah mengetahui perilaku suaminya, korban yang kesal lantas menyembunyikan kunci motor pelaku. Namun, pelaku malah menganiaya korban hingga akhirnya korban dilarikan ke Rumah Sakit. Kerabat dan warga sekitar telah mengetahui tabiat pelaku dan kerap menegur pelaku dan selingkuhannya tetapi mereka selalu bersikap acuh. Pada kasus ini, pelaporan dilakukan oleh keluarga korban yang tidak tahan melihat korban kerap dianiaya pelaku.
Beragam kasus diatas, kami menilai bahwa pelaporan dilakukan setelah adanya beberapa tindakan kekerasan. Korban tidak memiliki keberanian yang cukup untuk melaporkan pada layanan pengaduan sejak kali pertama adanya tindakan kekerasan. Korban memiliki berbagai pertimbangan sebelum melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya. Dikutip dari Artikel Hukum Pidana terkait UU PKDRT oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, terdapat beberapa alasan yang menyebabkan korban enggan membuat aduan terkait KDRT. Beberapa alasan tersebut antara lain:
- Bahwa tindakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan dianggap sebagai proses “pendidikan’ yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak. Anggapan ini dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, sehingga mempunyai hak mengatur (kalau perlu dengan kekerasan) terhadap anggota keluarganya.
- Harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan kekerasan mempunyai “siklus kekerasan” yang menipu. Hal itu dibungkus sebagai rasa cinta dan komitmen pada pasangannya, tetapi terus berulang.
- Ketergantungan ekonomi. Jika perempuan memiliki kemandirian ekonomi dan mempunyai hak/wibawa dan kekuasaan di luar keluarga, tingkat kekerasan oleh pasangannya menjadi lebih rendah.
- Demi anak-anak. Pengetahuan umum yang melihat anak akan menjadi korban konflik orangtua, seringkali menyebabkan perempuan mengalah. Sosok ideal perempuan menjelma pada diri seorang ibu yang berkorban serta membaktikan dirinya pada anak-anak dan suami, sehingga kebutuhan dan identitas dirinya menjadi hilang dalam rutinitas rumah tangga yang dijalaninya.
- Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan teman. Pandangan masyarakat terhadap perempuan janda membuat perempuan korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya, dan keluarga sulit memberikan dukungan sebagai akibat stigma tersebut.
- Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia.
Beberapa alasan tersebut menjadi pertimbangan korban dalam dua kasus di atas. Pada kasus kedua, korban sudah mandiri secara finansial karena merupakan tulang punggung keluarga. Sedangkan pada kasus pertama tidak dijelaskan apakah korban juga berada pada kondisi yang sama. Kedua korban memiliki cukup dukungan dari kerabat dan orang-orang sekitar mereka. Namun, korban bisa saja masih belum siap secara emosional karena masih berharap bahwa pasangannya dapat berubah untuk memperbaiki rumah tangga mereka dan mempertahankan keutuhan rumah tangga demi anak-anak mereka. Beberapa hal tersebut disebut ‘stockholm syndrome’ yaitu kondisi korban menormalisasi tindakan kekerasan dan bahkan menaruh empati pada pelaku. Oleh sebab itu, KDRT disebut sebagai ‘lingkaran setan’ karena korban sulit keluar dari hubungan yang tidak sehat tersebut.
Dukungan orang sekitar sangat diperlukan dalam hal ini. Setiap orang harus menyadari bahwa KDRT adalah masalah privat yang merupakan masalah publik. Diperlukan sinergitas antara semua lapisan masyarakat karena masalah ini adalah tanggungjawab bersama. Korban KDRT membutuhkan dukungan sosial agar dapat berpikir secara logis bahwa tindakan KDRT adalah hal yang salah, menyadari bahwa normalisasi terhadap tindakan tersebut adalah keliru, dan melihat dampak yang lebih luas dari tindakan KDRT. Korban membutuhkan dukungan sosial agar dapat mendapatkan kekuatan, keberanian, dan dorongan untuk dapat keluar dari lingkaran setan tersebut.
Apa Perbedaan Perbandingan UU PKDRT no 23 tahun 2004 dengan RUU PKS?
Pada bulan Oktober 2019 sedang gencar dan ramai mengenai RUU PKS yang dinilai lebih memihak kaum maskulin dibanding feminis. Alih-alih mendapatkan dukungan yang memadai, pada kenyataannya RUU PKS ini batal disahkan karena beragam penolakan dari sebagian masyarakat. Namun ironisnya, belum banyak dari mereka yang memahami urgensi dan isi dari RUU PKS secara lengkap dan mendalam. Penolakan RUU PKS jika ditelaah memiliki kaitan yang erat dengan UU PKDRT No. 23 tahun 2004, yaitu mengenai kekerasan seksual.
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) menyebutkan frasa “kekerasan seksual”, namun yang dimaksud berbeda dengan frasa “kekerasan seksual” dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pasal 8 UU PKDRT menyebutkan bahwa bentuk kekerasan seksual yang dimaksud berupa pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Ketentuan UU PKDRT ini memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual sebagaimana dimaksud Pasal 8 UU PKDRT sepanjang korban menetap dalam lingkup rumah tangga atau korban berada dalam lingkup rumah tangga pelaku. Namun di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan memberikan perlindungan bagi setiap korban kekerasan seksual, baik yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau berada dalam lingkup rumah tangga pelaku maupun yang tidak mempunyai keterkaitan dengan lingkup rumah tangga pelaku.
Pasal 16 dalam UU PKDRT tahun 2004 menyebutkan dalam 1×24 jam sejak diterimanya laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban, perlindungan diberikan paling lama 7 hari. Perlindungan juga diberikan kepada pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban. Namun tidak dijelaskan secara detail hak-hak korban, saksi, dan keluarga korban. Di dalam RUU PKS, secara detail dijelaskan Perumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban dan perumuskan hak korban, saksi dan keluarga korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan.
Dalam konteks pencegahan kekerasan seksual, di dalam UU PKDRT terbatas pada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan memberikan perlindungan bagi setiap korban kekerasan seksual, baik yang menetap dalam lingkup rumah tangga atau berada dalam lingkup rumah tangga pelaku maupun yang tidak mempunyai keterkaitan dengan lingkup rumah tangga pelaku. Pencegahan tersebut berupa perumusan kebijakan, penyelenggaraan komunikasi dan edukasi tentang KDRT, menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT. Di dalam RUU PKS, pencegahan kekerasan seksual berupa merumuskan pencegahan meliputi namun tidak terbatas pada bidang pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang, pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi dan sosial budaya dan merumuskan bentuk bentuk pencegahan dan penanggung jawab penyelenggaraannya.
Menyoal Akses Korban Terhadap Pelayanan Kesehatan
Peran Pemerintah
Segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik, psikis, maupun seksual memiliki dampak terhadap kesehatan korban. Oleh karenanya diperlukan perlindungan dengan penyediaan akses terhadap pelayanan kesehatan yang layak bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang №23 Tahun 2004 Pasal 10 huruf (b) bahwa salah satu hak korban adalah pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Selain itu dalam Undang-Undang tersebut pada Bab V disebutkan beberapa kewajiban pemerintah yaitu:
- Pada Pasal 12 ayat (1) huruf (a) disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
- Pada Pasal 12 ayat (3) disebutkan bahwa menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan kewajibannya.
- Pada pasal 13 huruf (b) bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pelayanan terhadap korban salah satunya dengan menyediakan tenaga kesehatan.
Pada pelaksanaan, pemerintah baik pusat maupun daerah telah melakukan beberapa upaya perumusan kebijakan lanjut yang terkait dengan pemenuhan hak korban KDRT atas akses terhadap pelayanan kesehatan, diantaranya adalah sebagai berikut.
- Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit
Pusat Pelayanan Terpadu merupakan unit kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang salah satunya berbasis di rumah sakit. Ketentuan mengenai penyelenggaraan pelayanan terpadu tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan №1226 Tahun 2009. Dalam kebijakan tersebut dijelaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan terpadu di rumah sakit bagi korban kekerasan, terutama pada anak dan perempuan, ditujukan untuk menyediakan pelayanan medis dan dukungan untuk mengurangi dampak dan mencegah cedera lebih lanjut, penderitaan dan ancaman bahaya, serta untuk meningkatkan cakupan korban kekerasan yang mendapatkan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih di Pusat Pelayanan Terpadu RS.
Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Pusat Pelayanan Terpadu RS bagi korban kekerasan dilakukan dengan konsep sebagai berikut.
- Komprehensif (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) dan mampu menjawab kebutuhan korban baik perempuan maupun anak, baik kebutuhan medis, psikososial, dan medikolegal.
- Khusus untuk anak sebagai korban dan pelaku kekerasan harus mendahulukan kepentingan terbaik anak.
- Melibatkan multidisiplin mengingat kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam penanganan korban. Personil yang terlibat merupakan suatu tim yang terdiri dari unsur medis (dokter, psikeater, bidan, perawat) dan non medis (psikolog/pekerja sosial, kepolisian, dan LSM).
- Tersedia/available, dapat diakses 24 jam, dan berkualitas.
- Pelayanan dilakukan sesuai standar.
- Peralatan yang tersedia harus memenuhi ketentuan.
- Semua tindakan harus terdokumentasi dengan baik.
- Harus ada sistem monitor dan evaluasi
Dalam pedoman tersebut, disebutkan pula jenis pelayanan yang berhak diterima korban kekerasan, yaitu:
- Pemeriksaan fisik dari kepala hingga ujung kaki.
- Penanganan luka-luka fisik
- Penanganan gangguan psikologis akut/intervensi krisis.
- Penanganan untuk pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS).
- Penanganan untuk pencegahan HIV.
- Pelayanan kesehatan reproduksi.
- Pelayanan medikolegal
Berbicara mengenai sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang menjadi hak korban KDRT, dalam peraturan ini juga disebutkan bahwa sumber pembiayaan untuk pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan diperoleh melalui APBN, APBD, mandiri, Jamkesmas, Asuransi, NGO/LSM.
2. Penerbitan PP №4 Tahun 2006
Peraturan Pemerintah №4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga diterbitkan atas dasar Undang-Undang №23 Tahun 2004. Pada kebijakan ini terdapat poin penting yang menyatakan bahwa pemerintah memenuhi kewajibannya dalam hal penyediaan akses pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga, terutama upaya pemulihan korban.
Pada Pasal 5 PP №4 Tahun 2006, pelayanan kesehatan bagi korban KDRT dilakukan oleh tenaga kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban.
Pada Pasal 8 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa pelayanan yang diberikan kepada korban KDRT meliputi:
- Anamnesis kepada korban
- Pemeriksaan kepada korban
- Pengobatan penyakit
- Pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis
- Konseling
- Rujukan ke sarana kesehatan yang lebih memadai.
- Pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan
- Pelayanan kesehatan reproduksi lainya sesuai dengan kebutuhan medis.
Pada PP ini juga disebutkan pada Pasal 22 bahwa segala biaya pemulihan, termasuk biaya pelayanan kesehatan, yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah terhadap korban KDRT dibebankan pada APBN, APBD, dan sumber pendapatan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
3. Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Korban KDRT
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu hak korban KDRT adalah memperoleh perlindungan serta pelayanan kesehatan. Pembiayaan pelayanan kesehatan sebagai hak korban KDRT telah dijamin oleh pemerintah dengan terbitnya beberapa peraturan yang menyebutkan bahwa biaya pelayanan kesehatan korban KDRT ditanggung oleh pemerintah. Peraturan tersebut diantaranya adalah:
- Peraturan Pemerintah №4 Tahun 2006 Pasal 22 yang menyebutkan bahwa segala biaya pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah terhadap korban KDRT dibebankan pada APBN, APBD, dan sumber pendapatan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
- Beberapa upaya daerah yang menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan bagi korban KDRT, meliputi:
- Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta №1564 Tahun 2017 menetapkan bahwa pelayanan visum korban tindak kekerasan pada perempuan dan anak sebagai pelayanan kesehatan difasilitasi dan dibiayai oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan dilakukan di fasilitas kesehatan milik Pemerintah Daerh DKI Jakarta.
- Peraturan Daerah Provinsi Banten №9 Tahun 2014 pada Pasal 13 ayat (3) menyebutkan bahwa pembiayaan pelayanan kesehatan korban ditanggung oleh pemerintah daerah.
- Pemerintah Kota Cilegon membebaskan pungutan biaya terhadap korban KDRT dengan catatan korban tersebut harus melapor kepada pihak berwajib kemudian ke Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Cilegon. Penanggungan biaya tersebut sesuai dengan Perwali Cilegon №59 Tahun 2017 tentang pedoman pembebasan kesehatan bagi korban kekerasan pada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah daerah. Penanggungan biaya in mulai dari biaya visum, rawat inap, hingga gawat darurat.
Namun, dilansir dari beberapa portal berita, biaya pelayanan kesehatan korban KDRT tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan mencabut aturan BPJS Kesehatan bagi korban tindak pidana yang tertuang dalam PP No. 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan. Layanan BPJS Kesehatan tidak berlaku bagi korban penganiayaan, kekerasan seksual, terorisme, dan perdagangan manusia, termasuk korban KDRT. Alasan pencabutan aturan tersebut adalah bahwa jaminan pelayanan kesehatan korban-korban tersebut telah diatur dalam peraturan lain. Peraturan tersebut adalah Peraturan Kapolri No. 5 Tahun 2014 yang pada Pasal 4 disebutkan bahwa korban kekerasan wanita dan anak tidak dijamin BPJS Kesehatan. Jaminan kesehatan korban tersebut menjadi bagian dari pelayanan kesehatan kedokteran kepolisian.
Peran Sektor Pelayanan Kesehatan
Sektor pelayanan kesehatan mencakup pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah, swasta, atau lembaga layanan berbasis masyarakat, yang meliputi rumah sakit, klinik, puskesmas, atau lembaga lainnya, didukung oleh petugas pelaksana atau petugas fungsional yang meliputi tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, dan pekerja sosial yang disediakan oleh instansi atau lembaga terkait. Dukungan masyarakat diperlukan dalam proses pemulihan korban KDRT sebagai upaya agar korban menjadi kuat, mampu, dan berdaya dalam mengambil keputusan. Sebagai contoh, apabila korban ingin melaporkan kasusnya, yang dibutuhkan adalah tersedianya tempat pelaporan yang aman dan nyaman, termasuk pelayanan kesehatan korban. Saat korban memperoleh pelayanan tersebut, sesungguhnya hal tersebut merupakan bentuk minimal dukungan bagi korban.
Sektor pelayanan kesehatan dipastikan turut berperan pada akses korban terhadap pelayanan kesehatan, sebagaimana dijelaskan pada beberapa pasal yang terkandung pada Undang Undang No. 23 Tahun 2004 yakni:
- Korban kekerasan dalam rumah tangga memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
- Tenaga kesehatan berperan dalam memberikan perlindungan dan mendampingi korban, bersama dengan pihak lainnya yakni kepolisian, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani
- Tenaga kesehatan berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan memeriksa kesehatan korban di pelayanan kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat; serta membuat laporan tertulis atas hasil pemeriksaan kesehatan korban sebagai alat bukti
- Tenaga kesehatan berkewajiban untuk memeriksa, memulihkan, dan merehabilitasi kesehatan korban sesuai dengan kompetensinya, begitu pula dengan korban yang memiliki hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan pada proses pemulihan dan rehabilitasi
- Tenaga kesehatan, psikiater, dan/ atau psikolog saat menemukan tanda permulaan terjadinya kekerasan pada korban, maka wajib melaporkannya pada lembaga penyedia layanan pelaporan atau kepada pusat pelayanan terpadu
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1226 Tahun 2009 menjelaskan tentang Pusat Pelayanan Terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang salah satunya berbasis di rumah sakit, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada peran sektor pemerintah. Terkait dengan sektor pelayanan kesehatan, kebijakan tersebut memaparkan bahwa sampai saat ini, penanganan para korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk pada KDRT, belum dilakukan secara terpadu di rumah sakit dan masih bersifat seperti layanan pasien umum lainnya. Kasus KDRT dimana perempuan sebagai korbannya belum dilihat sebagai kasus yang perlu ditangani secara serius di rumah sakit. Padahal, petugas kesehatan berperan sebagai lini terdepan dari layanan publik yang akan didatangi bila korban mendapatkan cedera serius. Selain itu, kasus kekerasan biasanya berlangsung kronis dan bermanifestasi dalam bentuk penyakit yang seringkali mengganggu kesehatan individu dalam jangka waktu yang panjang. Kebijakan tersebut ditetapkan untuk mencapai tujuan pelayanan kesehatan, yakni:
- Menyediakan pelayanan medis dan dukungan untuk mengurangi dampak dan mencegah cedera lebih lanjut, penderitaan dan ancaman bahaya
- Meningkatkan cakupan korban kekerasan yang mendapatkan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan terlatih di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) RS
Terlepas dari berbagai tujuan yang diajukan berdasarkan kebijakan yang ada, perlu diketahui bahwa saat ini masih sedikit rumah sakit yang menyediakan pelayanan terpadu untuk korban kekerasan, termasuk korban KDRT khususnya perempuan. Pelayanan ini belum tersedia luas hingga menyeluruh di setiap rumah sakit Kabupaten/Kota. Padahal apabila semua tenaga medis sadar dan mengerti tentang kekerasan ini, diperkirakan akan masih banyak lagi kasus yang bisa ditemukan baik di Instalasi Rawat Darurat atau di Poliklinik.
Selain itu, terdapat hambatan bagi korban untuk mengakses sektor pelayanan kesehatan yang dijumpai ketika korban KDRT menerima bentuk kekerasan psikis. Selain penegak hukum yang kesulitan untuk membuktikan adanya kekerasan psikis, sektor pelayanan kesehatan juga mengalami hal yang serupa. Oleh karenanya, kekerasan fisik lebih diutamakan karena akibat yang dialami korban dapat terlihat langsung. Hambatan ini dijumpai karena kekerasan psikis merupakan kekerasan yang dampaknya tidak kasat mata, dan dalam pembuktiannya dibutuhkan ahli psikologis. Di Indonesia, tenaga ahli psikologis belum tersebar secara merata pada sektor pelayanan kesehatan di setiap daerah.
Adanya pengembangan pelayanan terpadu di sektor pelayanan kesehatan sangat diperlukan, bahkan hingga ke sarana kesehatan terendah, seperti puskesmas, klinik swasta, atau praktek dokter pribadi. Paling tidak apabila tenaga kesehatan sadar dan mengerti, mereka akan dapat merujuk ke tempat yang benar sehingga korban kekerasan mendapatkan penanganan yang komprehensif dan maksimal untuk mencegah dampak buruk dari kekerasan yang dialami korban.
IMPLIKASI DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Implikasi
Adanya UU PKDRT jika tidak diimbangi dengan usaha untuk meningkatkan pemahaman beberapa pihak terutama aparat hukum dalam menangani kasus KDRT maka, kurangnya perlindungan yang didapatkan oleh korban KDRT. Diperlukan kerjasama lintas sektor terkait kesadaran akan penanganan kasus KDRT di Indonesia. Lemahnya kesadaran dan penangan kasus KDRT menyebabkan kasus KDRT terus meningkat walaupun sudah diberlakukannya UU PKDRT. Hadirnya UU PKDRT masih menjadi sebatas teks tertulis tanpa disertai oleh upaya konkrit dan sistematis untuk mengatasi kasus KDRT di Indonesia.
Rekomendasi
Setelah mengkaji UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), maka beberapa rekomendasi yang dapat kami diberikan adalah :
- Diperlukan perubahan paradigma hukum yang memandang KDRT sebagai urusan privat, baik aparat penegak hukum maupun masyarakat sekitar harus mampu memberikan perlindungan terhadap korban KDRT.
- Diperlukan peningkatan kesadaran baik bagi masyarakat dan anggota keluarga akan keberadaan hukum KDRT dan hak-hak yang dimiliki korban akibat perlakuan KDRT yang diterima.
- Pemerintah harus mampu mempertimbangakn aspek sosial, budaya, ekonomi dan agama dengan melibatkan berbagai lintas sektor sebagai upaya penghapusan KDRT di Indonesia.
- Membuat sistem dan regulasi yang lebih serius dalam menangani korban kasus KDRT, terutama dalam aspek kesehatan.
- Memperkuat komitmen pemerintah dengan BPJS dan pemberi pelayanan kesehatan dalam menangani korban kasus KDRT
- Merealisasikan program penguatan dan pendampingan pra-nikah sebagai kegiatan preventif
DAFTAR PUSTAKA
Alfa, 2019. KDRT Terjadi Lagi, Istri Dihajar Hingga Dirawat di Rumah Sakit oleh Suami yang Kepergok Selingkuh dan Suka Bawa Wanita Lain ke Rumah. [Online] Available at: https://wiken.grid.id/read/391849707/kdrt-terjadi-lagi-istri-dihajar-hingga-dirawat-di-rumah-sakit-oleh-suami-yang-kepergok-selingkuh-dan-suka-bawa-wanita-lain-ke-rumah?page=all. [Accessed 16 November 2019].
Anonim, 2018. Menguak Data Jumlah Kekerasan Perempuan Tahun ke Tahun. [Online] Available at: https://www.cnnindonesia.com/gaya hidup/20181126110630–284–349231/menguak-data-jumlah-kekerasan perempuan-tahun-ke-tahun [Accessed 6 November 2019].
CNN, 2018. Tak Dijamin BPJS Kesehatan, Korban Terorisme Diurus Negara. [Online] Available at: https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20180921110131-78-331967/tak-dijamin-bpjs-kesehatan-korban-terorisme-diurus-negara [Diakses 17 November 2019].
Ditjen PP Kementrian Hukum dan HAM. “Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT): Persoalan Privat yang Jadi Persoalan Publik”. Ditjenpp.kemenkumham.go.id. Diakses pada tanggal : 5 November 2019.
Fananai, E. R., n.d. UU PKDRT, Antara Terobosan Hukum dan Fakt Pelaksanaannya.[Online]Available at http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/651-uu-pkdrt-antara-terobosan-hukum-dan-fakta-pelaksana [Accessed 6 November 2019].
Kinandita, Patresia. 2019. Korban Kekerasan yang Tak Bisa Keluar dari Lingkaran Setan. [Online] Available at: https://tirto.id/korban-kekerasan-yang-tak-bisa-keluar-dari-lingkaran-setan-cqXe [Accessed 16 November 2019].
Komisi Nasional Perempuan. Siaran Pers Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2019: HENTIKAN IMPUNITAS PELAKU KEKERASAN SEKSUAL DAN WUJUDKAN PEMULIHAN YANG KOMPREHENSIF BAGI KORBAN. [Online] Available at: https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-siaran-pers-catatan-tahunan-catahu-komnas-perempuan-2019. [Accessed 16 November 2019]
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. 2018. Membangun Akses ke Keadilan bagi Perempuan Korban Kekerasan: Perkembangan Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Komnas Perempuan: Cetakan II, Juli 2018.
Mohammad Hakimi et. All. Membisu Demi Harmoni “Kekerasan Terhadap Istri dan Kesehatan Perempuan di Jawa Tengah, Indonesia”. 2001. LPKGM FK-UGM. Yogyakarta. h. 64.
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 1564 Tahun 2017 Tentang Pelayanan Visum untuk Korban Tindak Kekerasan pada Perempuan dan Anak.
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Terhadap Tindak Kekerasan
Peraturan Menteri Kesehatan №1226/Menkes/SK/XII/2019 Tentang Pedoman Penatalaksanaan Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Rumah Sakit.
Peraturan Pemerintah Nomor 4/2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Peraturan Walikota Cilegon Nomor 59 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pembebasan Biaya Kesehatan Bagi Korban Kekerasan pada Fasilitas Kesehatan Pemerintah Daerah
Putri, Aulia Rahma. 2019. Gara-gara Traktir Teman-temannya Nasi Goreng, Wanita ini Malah Dipukuli Sampai Babak Belur oleh Suaminya yang juga Bos Hotel di Makassar. Available at: https://nakita.grid.id/read/021899425/gara-gara-traktir-teman-temannya-nasi-goreng-wanita-ini-malah-dipukuli-sampai-babak-belur-oleh-suaminya-yang-juga-bos-hotel-di-makassar?page=all[Accessed 16 November 2019].
Risqullah, M. B., 2019. Kasus Penelantaran Anak Meningkat. [Online] Available at: https://radarmalang.id/kasus-penelantaran-anak-meningkat/ [Accessed 6 November 2019].
Ramadhani, Y., 2018. BPJS Kesehatan Tidak Lagi Tanggung Pengobatan Korban Kejahatan. [Online] Available at: https://amp.tirto.id/bpjs-kesehatan-tidak-lagi-tanggung-pengobatan-korban-kejahatan-dcoz [Diakses 17 November 2019].
Safitri, K., 2019. BPJS Kesehatan sebut layanan bagi korban tindak pidana memang tidak ditanggung. [Online] Available at: https://amp.tirto.id/bpjs-kesehatan-tidak-lagi-tanggung-pengobatan-korban-kejahatan-dcoz [Diakses 17 November 2019].
Penulis: Odilia Firsti, Dewi Aulia, Allyra Himawaty, Innes Rizma, Syamira Nurjanah, Nabila Belqys
Editor: Ilham Akhsanu Ridlo