Vaksin Moderna menyusul Pfizer menjadi kabar baik: bagaimana kita membaca perkembangan dramatik ini

Vaksin Moderna menyusul Pfizer menjadi kabar baik: bagaimana kita membaca perkembangan dramatik ini

DonyaHHI/Shutterstock

Simon Kolstoe, University of Portsmouth
Sangat menarik untuk mendengar kabar positif lain tentang hasil percobaan vaksin. Sebuah vaksin yang baik merupakan cara yang paling mungkin untuk mengakhiri pandemi ini.
Pada 9 November lalu, hasil sementara uji coba vaksin dari Pfizer menunjukkan vaksin mereka mengurangi kasus COVID-19 dengan tingkat kemanjuran 90%. Seminggu kemudian, vaksin Moderna jauh lebih baik lagi, dengan hasil sementara hampir 95% manjur pada vaksinnya dengan kemungkinan bisa menangkal penyakit yang lebih parah. Laporan yang dikeluarkan tidak menunjukan masalah serius dan vaksin ini telah dites pada 10.000 partisipan.
Dengan banyaknya pengembangan vaksin COVID-19, maka semakin banyak hasil yang muncul dalam beberapa bulan ke depan. Berbagai angka mungkin, seperti ini, akan sangat mengagumkan, tapi ini perlu digali lebih dalam untuk memahami apa persisnya arti dari hasil ini.
Dengan pemikiran itu, berikut enam pertanyaan yang harus diajukan tentang hasil percobaan vaksin.

1. Apakah ini berarti vaksin itu aman?

Hampir bisa dipastikan ya (aman) bila vaksin sudah berhasil melewati uji coba klinik fase 3 dengan ribuan partisipan. Vaksin tidak akan sampai sejauh ini jika ada keraguan besar tentang keamanannya.
Dalam sejarahnya, perusahaan farmasi mampu menekan hasil negatif, tapi sekarang semua percobaan wajib mempublikasikan hasil agar ilmuwan lain bisa mengkajinya. Sehingga, sektor ini umumnya telah lebih dipercaya daripada sebelumnya, meski kita tetap harus lebih berhati-hati jika hasil sementara telah keluar.
Beberapa orang khawatir bahwa vaksin untuk COVID-19 telah diproduksi dengan sangat cepat; tapi, mayoritas didasari platform teknologi dengan profil keselamatan yang sangat baik. Ada beberapa teknologi baru yang telah digunakan, tapi percobaan klinis dan peraturan sangat ketat dan akan mampu mendeteksi sebagian besar potensi komplikasi cukup awal dalam pengembangan.
Tentu saja, masih sulit untuk mengetahui efek samping jangka panjangnya, tapi ini jarang terjadi pada vaksin dan risiko lainnya biasanya secara signifikan lebih rendah daripada risiko dari mendapatkan penyakit yang divaksinasi.

2. Apakah angka-angka kemanjuran yang besar itu mencerminkan tujuan uji coba?

Percobaan sering mengukur berbagai hal, tapi selalu ada satu pertanyaan penelitian utama atau tujuan yang ditargetkan untuk dijawab oleh percobaan ini.
Banyak uji coba klinik juga akan punya beberapa pertanyaan penelitian sekunder, tapi menjawab ini tidak dianggap sebagai keberhasilan.
Jika Anda menguji cukup banyak untuk tujuan yang berbeda, beberapa akan selalu terjawab karena faktor peluang yang tidak diketahui. Salah menggambarkan data uji coba dengan cara ini adalah bentuk pelanggaran penelitian yang disebut p-hacking atau manipulasi data statistik. Anda dapat mengetahui tujuan utama dan sekunder dari uji coba apa pun dengan memeriksa registri uji klinis.
Lebih lagi, sangat penting untuk mempertimbangkan apakah temuan ini bersifat sementara. Meski beberapa hasil bisa menjanjikan seperti apa yang ditunjukkan Prizer dan Moderna, mereka tidak menjamin ini akan jadi hasil final.

3. Apakah uji coba telah mengukur hal yang benar?

Menentukan apa yang dianggap sebagai obat yang “berhasil” akan cukup sulit ditentukan untuk beberapa penyakit. Namun, untuk vaksin, pertanyaan yang perlu ditanyakan cukup sederhana: apakah orang-orang yang telah mendapat vaksin aktif menderita sakit? Pengukuran lain yang lebih rumit dari ini (sering disebut sebagai hasil pengganti) harus ditanggapi dengan kewaspadaan.

4. Siapa yang telah dites?

Apakah hasil dari uji coba ini dapat ditransfer ke dunia nyata? Ini penting untuk bisa memahami perbedaan antara populasi (dalam kasus ini setiap orang yang bisa menderita COVID-19) dan sampel populasi yang ambil bagian dalam uji coba ini.
Dalam banyak kasus, uji coba menggunakan dua kelompok sampel yang sangat cocok (dan sangat sebanding) dengan kondisi yang dikontrol dengan hati-hati juga. Salah satu kelompok diberikan vaksin, dan kelompok lain diberikan plasebo (seperti injeksi saline atau vaksin yang sudah dikembangkan untuk penyakit lain) untuk mengendalikan efek pada para peserta yang mengira mereka telah divaksinasi – yang memang memiliki efek.
Pada tahap pertama uji coba, perhatiannya pada keselamatan berarti sampel secara umum dibuat untuk kaum muda dan cocok pada orang dengan sedikit penyakit, yang mungkin tidak mewakili populasi keseluruhan. Akan tetapi, saat uji coba memasuki fase selanjutnya (fase 2 dan 3) dan sampelnya semakin besar, peneliti mencoba untuk memastikan sampel populasi yang lebih representatif.
Itulah mengapa uji coba tahap terakhir (fase 3) sangat penting, karena sampel dipilih untuk mewakili populasi target penerima vaksin. Publikasi resmi dari hasil uji menjelaskan siapa saja yang menjadi sampel, dan tingkat kemanjuran pada kelompok yang berbeda (terdiri dari jenis kelamin, usia, dll). Sayangnya, informasi utama kemanjuran (95% misalnya) tidak berlaku secara merata di seluruh populasi.
Ini sangat penting untuk COVID-19, karena kita tahu bahwa orang yang lebih tua jauh lebih rentan. Kita mestinya tidak mempertimbangkan lebih lanjut berbagai hasil sampai kita dapat melihat rincian kemanjuran sesuai tingkatan usia.

5. Apakah vaksin dapat mudah digunakan?

Sebelum kita terlalu bersemangat, sejumlah pertanyaan praktis harus ditanyakan. Berapa harga vaksin ini? Bisakah ini dibuat secara massal? Apakah mudah dibawa dan disimpan? Dan berapa dosis yang diperlukan? Masalah logistik ini (misalnya, harus disimpan dan dibawa dalam suhu rendah) bisa mudah menghalangi vaksin baru untuk masuk ke klinik.

A freezer control panel showing -79C.
Vaksin Pfizer harus disimpan dalam suhu -80C, yang akan membuat vaksin ini lebih sulit pendistribusiannya.
BlurryMe/Shutterstock

6. Dapatkah kita percaya pada apa yang dilaporkan?

Keahlian untuk mengidentifikasi antara sumber yang dapat diandalkan atau tidak penting perlu ditingkatkan. Media sosial kerap kali dangkal dan rentan dalam menyebar misinformasi. Di lain sisi, artikel jurnal dan uji klinis yang terdaftar bisa sulit dimengerti oleh semua orang kecuali spesialis.
Jurnalisme yang tepercaya menjadi jawabannya. Carilah beberapa publikasi dengan pengawasan editorial dan rekam jejak laporan sains dan medis yang dapat dipercaya. Membaca lebih dari satu penjelasan bisa membantu Anda mendapatkan pandangan yang seimbang.
Penting juga untuk bertanya dari mana jurnalis menemukan informasi yang dilaporkan. Merujuk pada hasil yang terpublikasi dari jurnal adalah pertanda baik, itu menunjukkan beberapa pengecekan fakta yang ketat telah terjadi. Hati-hati bila sumber yang digunakan berupa preprints (pracetak) (belum direview oleh ilmuwan sejawat) atau disebut ‘literatur abu-abu’, seperti rilis atau laporan perusahaan.
Selain itu, kita perlu waspada jika sumber utama terlihat dari kutipan atau hasil wawancara dari orang dengan gelar PhD atau jabatan yang tampak keren. Kutipan dari seorang ilmuwan dalam sebuah wawancara itu tidak sebanding dengan kutipan dari ilmuwan yang sama dalam artikel akademis yang sudah dikaji.


Wiliam Reynold menerjemahkan dari bahasa Inggris.The Conversation
Simon Kolstoe, Senior Lecturer in Evidence-Based Healthcare and University Ethics Advisor, University of Portsmouth
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
 
Diunggah ulang oleh Ilham Akhsanu Ridlo