Hoaks anti-vaksinasi marak, bagaimana menyusun kebijakan kesehatan berbasis kebenaran ilmiah

Petugas kesehatan memvaksinasi untuk mencegah difteri di sekolah dasar di Surabaya, 2013. Imunisasi terbukti meningkatkan kekebalan tubuh penduduk dari serangan penyakit menular.
Spotters/Shutterstock

Ilham Akhsanu Ridlo, Universitas Airlangga
Pemberian imunisasi telah terbukti membuat masyarakat lebih sehat dan sejahtera karena vaksinasi mencegah terjadinya pengeluaran yang sia-sia akibat penyakit yang sebenarnya bisa dicegah.
Riset Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mengestimasi dampak ekonomi dari vaksinasi periode 2001-2020 menyebutkan vaksinasi 10 jenis penyakit menular dapat mencegah 20 juta kematian di 73 negara, termasuk Indonesia. Vaksinasi, menurut riset tersebut, juga dapat menyelamatkan kerugian yang ditimbulkan sebesar US$350 miliar (hampir Rp5.000 triliun) untuk biaya perawatan kesehatan, sedangkan nilai ekonomi dan sosial yang lebih luas dari vaksinasi ini diperkirakan mencapai US$820 miliar (sekitar Rp11.700 triliun) di 73 negara tersebut.
Tapi rupanya tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap keampuhan vaksinasi perlu ditingkatkan. Akhir tahun lalu, Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, alih-alih naik, cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) pada anak berusia 12-23 bulan hanya 57,9%. Ini turun dibanding lima tahun tahun lalu yang mencapai 59,2%. Lebih dari tiga juta anak usia tersebut tidak menerima vaksinasi lengkap. Sementara, untuk mencapai level imunitas yang optimal pada populasi semestinya cakupannya di atas 80 persen.
Amat disayangkan bahwa data-data tentang manfaat vaksinasi seperti hasil riset WHO tersebut tidak bermakna apa-apa bagi sebagian orang tua akibat pengaruh berita palsu dan teori konspirasi tentang vaksinasi, yang marak tersebar melalui media sosial. Karena itu, kebijakan kesehatan dan komunikasi sains yang tepat sangat dibutuhkan untuk menyakinkan masyarakat ihwal manfaat imunisasi.

Anti-vaksin dari hoaks Wakefield

Argumentasi yang sering kita dengar digunakan oleh orang dan kelompok anti-vaksin adalah hasil riset yang dilakukan (bekas) dokter Inggris Andrew Wakefield pada 1998. Riset tersebut diterbitkan di jurnal kedokteran prestisius The Lancet, tapi tak lama kemudian artikel tersebut dicabut oleh penerbit karena Wakefield terbukti terlibat pelanggaran etika penelitian yang serius berupa konflik kepentingan finansial dan pelanggaran ilmiah.
Wakefield menjelaskan ada keterkaitan antara pemberian vaksin MMR (Mumps Measles rubella) dan risiko kejadian Pervasive Developmental Disorder (PDD) atau autisme. Penelitiannya mendorong khalayak untuk mengaitkan pemberian vaksin MMR dengan beberapa kriteria diagnostik autisme yang berupa aspek komunikasi, interaksi sosial, minat atau perhatian.
Banyak penelitian setelahnya, termasuk studi terbaru yang terbit April 2019, dengan tegas membantah temuan palsu Wakefield dengan memberikan bukti yang solid bahwa vaksinasi MMR tidak meningkatkan risiko autisme, tidak memicu autisme, dan juga tidak ada kaitannya dengan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Menariknya, meski sudah banyak studi serupa yang membantah temuan Wakefield dan dilakukan lebih cermat secara saintifik, kelompok anti-vaksin selalu mengutip studi, yang disebut oleh ahli kesehatan dari Universitas Charleston Amerika Dennis K Flaherty sebagai “hoaks kesehatan paling merusak selama 100 tahun terakhir” itu. Hoaks Wakefield ini amat berbahaya karena selalu dijadikan pembenaran kaum anti-vaksin untuk menolak vaksinasi dan mendorong terbentuknya mitos-mitos lainnya yang berhubungan dengan keamanan vaksinasi.
Belakangan diketahui bahwa misinformasi dan disinformasi bukan satu-satunya faktor yang menjelaskan naiknya popularitas gerakan anti-vaksin, namun lebih dipengaruhi sentimen dan ideologi politik yang menyertainya.

Kabar bohong dan epistemologi kebijakan

Laporan DailySocial tentang distribusi hoaks di media sosial pada 2018 menjelaskan bahwa informasi hoaks paling banyak ditemukan di Facebook (82,25 persen), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%).
Disinformasi tersebut amat beragam, mulai dari beberapa makanan penyebab kematian, penyebab kanker, vaksinasi dan imunisasi. Seiring meluasnya akses terhadap internet, penyebaran informasi palsu ini malah semakin sulit untuk dikendalikan.
Perlawanan berbahaya terhadap kebenaran ilmiah terkait vaksin tak hanya di Indonesia. Di Amerika, politikus punya andil besar dalam maraknya disinformasi ini. Contohnya, bagaimana cara Presiden Amerika Serikat Donald Trump menanggapi kaitan antara vaksinasi dan kejadian autisme yang kemudian menjadi komoditas politik. Politikus Partai Republik yang terkenal konservatif itu mendukung dan membuat pembenaran atas penelitian Wakefield sehingga persoalan kredibilitas penelitian dan etik tidak menjadi hal yang patut diperhitungkan.
Yang menyedihkan, masyarakat menganggap informasi palsu ini seolah-olah menggambarkan yang nyata terjadi. Informasi palsu mengenai vaksinasi ini semakin liar karena dibumbui berbagai teori konspirasi.
Tokoh filantropis untuk gerakan pengendalian tembakau global dan politikus Partai Demokrat Amerika Michael R. Bloomberg dalam pidatonya di Rice University Mei tahun lalu, menyatakan para politikus populis terus menyangkal informasi faktual yang membuat publik merasa terancam. Bloomberg dengan tegas mengatakan “wabah ketidakjujuran” ini adalah satu-satunya komoditas yang terus dikapitalisasi oleh para politikus agar mendapatkan keuntungan elektoral. Namun kebenaran tetap kebenaran, sehingga kebohongan tak mungkin mampu terus-terusan menutupi yang sebenarnya terjadi.
Karena itu, kehadiran bukti empirik dalam perumusan kebijakan kesehatan tak bisa ditawar-tawar. Saat ini pemerintah Indonesia belum mengembangkan strategi yang jelas untuk melawan miskonsepsi dan krisis kredibilitas pada figur ilmuwan dan penelitian ilmiah yang mendasari beragam kebijakan kesehatan. Padahal efeknya jelas dan langsung dirasakan, seperti menurunnya cakupan imunisasi.

Kebijakan kesehatan berbasis kebenaran

Para ilmuwan dan perumus kebijakan kesehatan harus memahami lanskap politik di era paska-kebenaran agar dapat melewati tantangan ini dengan baik. Komunitas akademik juga dituntut untuk mereformasi strategi mereka dalam melakukan komunikasi sains supaya menutup kesenjangan pemahaman antara ilmuwan dengan pengambil kebijakan dan masyarakat awam.
Dalam karya ilmiahnya, pakar kebijakan kesehatan dari London, Martin McKee dan David Stuckler, menyebutkan setidaknya ada 6 prinsip yang harus diadopsi oleh praktisi kesehatan masyarakat dalam menanggapi situasi ini.

  1. Menggunakan keahlian epidemiologis, praktisi kesehatan masyarakat dapat memberikan wawasan yang menjelaskan mengapa politik populis mendapatkan pengaruh yang luas.
  2. Menggunakan keahlian dalam menyusun model dan asesmen dampak kesehatan, praktisi kesehatan masyarakat dapat mengantisipasi dan memberi peringatan mengenai bahaya kebijakan populis.
  3. Praktisi kesehatan masyarakat dapat membantu pemerintah menyusun instrumen kebijakan kesehatan yang efektif.
  4. Praktisi kesehatan masyarakat harus menghindari menjadi partisan, dan secara aktif mempromosikan solidaritas dan persatuan.
  5. Praktisi kesehatan masyarakat harus terlibat aktif dalam mendorong strategi cek fakta dan mempromosikan penggunaan bukti faktual.
  6. Praktisi kesehatan perlu kembali menilik masa lalu, saat ilmu kesehatan masyarakat pernah berkelindan dengan pemerintahan totaliter Nazi di Polandia yang berupaya mencegah tuberkulosis dengan genosida terhadap penduduk yang terinfeksi penyakit menular tersebut pada 1 Mei 1942.

Selain itu, dalam mengkomunikasikan temuannya, ilmuwan tidak boleh melakukan klaim berlebihan dan selalu berhati-hati dalam mendeskripsikan ketidakpastian. Ada beberapa teknik komunikasi sains yang dapat dilakukan, misalnya dengan memadukan strategi framing dengan storytelling. Strategi ini dilakukan dengan pengemasan dan seleksi fakta peristiwa yang ditujukan untuk membentuk persepsi publik melalui proses dialogis. Sebuah studi menunjukkan pendekatan dialogis yang melibatkan masyarakat secara aktif dapat menghasilkan kebijakan yang lebih efektif.
Ketika menyuplai bukti yang melandasi kebijakan kesehatan, ilmuwan harus menjamin kualitas penelitiannya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengadopsi pendekatan Sains Terbuka, yang mengedepankan prinsip keterbukaan dan transparansi. Pendekatan ini memperluas kolaborasi lintas disiplin ilmu dan memperkuat jaringan peneliti dengan pengambil kebijakan dan LSM, sehingga dapat menghasilkan temuan riset yang solid, kredibel, dan berkualitas tinggi.
Kita membutuhkan kerja sama banyak pihak untuk melawan hoaks anti-vaksinasi sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat pada kebenaran ilmiah.The Conversation
Ilham Akhsanu Ridlo, Assistant Lecturer in Department of Health Policy and Administration, Universitas Airlangga, Universitas Airlangga
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.