Banyak Anak Banyak Rejeki

Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Timur diprediksi akan semakin bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk di jawa Timur tahun 2015 mencapai 38.847.561 jiwa dan akan semakin naik menjadi 39.698.631 jiwa pada tahun 2019. Pertumbuhan penduduk akan menjadi modal pembangunan sebuah negara. Semakin banyak jumlah penduduk, kebutuhan akan sandang, pangan, papan, pendidikan dan lapangan kerja akan meningkat sehingga harus menjadi perhatian dari pemerintah (BPS, 2018)

Pertambahan jumlah penduduk tidak terlepas dari tingkat fertilitas (kelahiran). Tingginya fertilitas akan menimbulkan berbagai masalah jika tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Tingginya fertilitas dapat mencerminkan banyaknya usia pernikahan dini, tingkat pendidikan rendah serta tingkat sosio ekonomi juga rendah. Penjelasan tersebut memberi kesimpulan bahwa perlu dilakukan berbagai upaya untuk menekankan tingkat fertilitas.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam programnya telah menekan angka fertiltias. Namun, dalam diri masyarakat sebagian besar masih berpegang teguh pada semboyan “Banyak Anak Banyak Rejeki”. Hal ini terlihat dari hasil penelitian pada wanita menikah di Provinsi Jawa Timur yang menunjukkan bahwa sebagian besar wanita yang telah menikah yang berada pada usia produktif yakni usia 15 – 49 tahun masih ingin memiliki anak lagi meskipun mereka telah memiliki 1 hingga 2 anak. Hal ini sama halnya terjadi pada wanita menikah di Bali, semakin banyak anak yang dimiliki oleh wanita menikah di Bali menurunkan keinginan untuk memiliki anak sekali lagi, semakin sedikit anak yang dimiliki maka semakin besar keinginan untuk memiliki anak sekali lagi. Hal ini dapat disebabkan oleh keinginan mereka tentang keinginan memiliki anak dalam jenis kelamin tertentu. Namun, dalam penelitian ini, meskipun wanita yang telah menikah tersebut memiliki anak dengan jumlah anak laki – laki lebih banyak dibanding anak perempuan, atau jumlah anak laki – laki sama besar dengan anak perempuan, mereka tetap memiliki keinginan untuk menambah anak sekali lagi. Banyak masyarakat yang percaya dengan orang tua memiliki banyak anak maka orang tua merupakan orang tua yang sangat beruntung (Fahmi dan Mbina, 2018).

Budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” masih melekat pada sebagian besar masyarakat. Umumnya budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” yang berkembang di masyarakat memiliki arti bahwa setiap anak memiliki rejekinya masing – masing sehingga semakin banyak anak maka rejeki yang diterima oleh orang tua menjadi semakin banyak (Alayubi, 2018). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat mempercayai bahwa nilai anak sebagai bantuan dalam hal ekonomi kelurga dan untuk membantu pekerjaan di rumah (A, Isebelle et al, 2005). Hal tersebut dapat memberi gambaran bahwa budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” berhubungan dengan nilai anak yang dianut oleh orang tua. Nilai yang dimaksud adalah anak dinilai dapat membantu secara finansial ketika orangtua sudah tua, membantu faktor psikologis orang tua ketika orang tua telah lanjut usia, membantu bisnis keluarga ketika keluarga memiliki bisnis sendiri, dapat membantu saudara yang lain, meneruskan silsilah keturunan keluarga, dan lainnnya (Buripakdi, 1977). Selain hal yang disebutkan diatas, anak juga dilihat dari nilai cinta dan kebahagiaan. Mereka yang memiliki anak dapat memperoleh perasaan bahagia, perasaan dicintai oleh anak, dan senang melihat anak tumbuh juga berkembang (Kim, et al, 2005).

Kesimpulan yang dapat diambil adalah masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat di Jawa Timur yang telah memiliki anak 1 hingga 2 anak tetap memiliki keinginan untuk memiliki anak lagi. Hal tersebut bukan karena keinginan mereka terhadap jenis kelamin anak tertentu namun karena nilai anak yang dianut. Budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” dapat menjadi salah satu pendorong masyarakat untuk memiliki lebih banyak anak. Budaya “Banyak Anak Banyak Rejeki” sebaiknya tidak ditanamkan secara turun – temurun mengingat dampak dari budaya tersebut terhadap kehidupan sosial.  Budaya ini sebaiknya diganti dengan pemahaman bahwa dengan memiliki anak sedikit, maka masyarakat berpeluang untuk memiliki keluarga kecil, bahagia dan sejahtera tanpa terbebani masalah ekonomi bagi kelompok masyarakat yang memiliki indeks kekayaan bawah. Masyarakat yang memiliki anak sedikit berpeluang untuk menjadikan mereka anak yang berkualitas sehingga dapat memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga.

 

Artikel ilmiah populer ini ditulis berdasarkan hasil penelitian tesis mahasiswa atas nama “Rhea Rahma Adelina” dengan judul Klasifikasi Preferensi Fertilitas Pada Wanita Kawin Usia Subur dengan Pendekatan Analisis Diskriminan dan Naive Bayes (analisis lanjut hasil SDKI 2017 Provinsi Jawa Timur)

Leave a Reply