Saat itu awal bulan April di tahun 2022 bertepatan saat pelaksanaan puasa Ramadhan. Komting Angkatan kami memberi pengumuman di grup bahwa akan ada kegiatan pengmas alias Pengabdian Masyarakat ke Madura. Saat itu tujuan yang disampaikan yaitu ke wilayah Raas. Saya yang belum pernah sama sekali menginjakkan kaki ke wilayah Madura merasa ini kesempatan bagus untuk belajar lebih dalam mengenai kesehatan masyarakat. Beberapa hari kemudian, ada pemberitahuan susulan terkait siapa saja yang akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Upsy… ada dosen-dosen favorit saya yang luar biasa produktif dan menginspirasi meski belum pernah sekalipun ngobrol dengan beliau-beliau secara langsung. Akhirnya keinginan ke Madura semakin bulat. Tak lama kemudian ada pemberitahuan bahwa tujuan dialihkan ke pulau Kangean. Tiba-tiba saya berfikir Raas dan Kangean itu apa hubungannya? Saya tiba-tiba teringat saat pembekalan Survey Status Gizi Indonesia ada beberapa pulau kecil yang di Madura yang masuk dalam daftar list daerah terpencil. Karena makin penasaran, saya mencari informasi di google maps terkait lokasi pulau-pulau tersebut. Semakin penasaran, saya mengakses data-data dari BPS terkait pulau-pulau di Madura. Ternyata banyak sekali pulau-pulau kecil yang ada di Madura yang baru saya ketahui.

Kangean merupakan pulau terbesar dari gugusan kepulauan Kangean yang berada di sebelah timur laut pulau Madura. Pulau ini termasuk dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Sumenep. Perjalanan dari Kampus yang dilakukan tengah malam akhirnya membawa rombongan kami tiba di sebuah masjid di alun-alun kabupaten Sumenep. Setelah selesai melakukan sholat subuh, saya menghampiri sebuah warung kopi tepat di seblah masjid. Awalnya saya ragu untuk bergabung mengopi dengan orang-orang yang ada di sana. Namun, keramahan, kesopanan, dan penampilan mereka yang santun membuat saya tertarik untuk bergabung sembari menggali informasi. Bu, saya pesan kopi pahit, tiba-tiba sang pemilik warung menggandeng saya dan menunjukkan toples gula dan kopi, seolah mengajak saya untuk menyiapkan kopi saya sendiri. Saya menuangkan kopi tanpa gula sambal menunggu si ibu merebus air.

Kemudian ada yang memberitahu saya, “Dek, itu ibunya tidak bisa mendengar, berilah dia isyarat”.

“Baik pak, terimakasih banyak” kemudian saya memberi kode bahwa airnya hanya setengah gelas sambal tersenyum pada ibu.

Alhamdulillah jadilah kopi pahit favorit saya pagi itu. Saya mencari posisi duduk kemudian memberikan salam kepada orang-orang yang sedang asyik mengopi saat itu. Mereka semua menggunakan sarung, peci, dan terlihat sangat ceria. Sambil menikmati sebuah sajian makanan dari singkong berbentuk lonjong yang dibawa entah dari mana, lengkap dengan sambalnya, mereka mulai membuka obrolan dengan saya.

“Adek ini darimana? Rombongan bis yang didepan sana itu ya?”

“Iya pak, saya mahasiswa dari UNAIR.”

“Mau kemana tujuannya?” sahut salah satu orang di sana

“Kami ada acara ke pulau kangean pak, kalau bapak-bapak ini dari mana?”

Salah satu dari beliau yang terlihat paling senior tersenyum lebar mengajak temannya untuk bercerita

Rekan beliau memperkenalkan semua yang sedang ada di situ.

Ternyata saya berkumpul dengan para pengasuh pondok, pegawai perpustakaan, dan bahkan sang pemilik pondok di wilayah tersebut.

Alhamdulillah, saya diberikan kesempatan untuk mengobrol dengan beliau-beliau semua.

Tanpa ambil pusing, saya bertanya tentang pulai kangean dan karakteristik penduduknya. Beliau-beliau berscerita bahwa penduduk pulau kangean sebagian orang Bugis. Bahkan mungkin lebih banyak orang keturunan bugis daripada orang keturunan dari pulau madura di sana. Karena pada zaman dahulu orang bugis yang merantau banyak yang singgah di pulau kangean dan bahkan ada yang menetap disana. Sehingga budaya dan bahasa di sana beragam dan bahkan sebagian besar mirip dengan orang orang bugis.

Kembali pada perjalanan ke pulau kangean, kami menuju Pelabuhan dan mulai bongkar muatan yang telah kami persiapkan dari Surabaya. Di lokasi pelabuhan yang terlihat asing ini, beberapa orang melontarkan pertanyaan konyol yang sangat membekas.

“Mau berenang kak? Koq bawa pelampung?” dengan laak sok cuek saya hanya tersenyum dan membungkukkan badan sambal berlalu begitu saja. Kemudian saat di dalam kapal, saya mengamati ada beberapa mahasiswa FK Unair yang masuk ke dalam kapal yang sama. Mereka tidak membawa pelampung, dan Kembali saya dapati orang yang bertanya kepada saya

“kak, kenapa membawa pelampung? Di bawah kursi masing-masing penumpang sudah ada pelampung kak.”

“ohya, terimakasih banyak, maklum kami baru pertama kali naik kapal di sini pak.” Sambil tersenyum dan menahan malu saya merapikan posisi duduk kemudian mulai asyik dengan hp kemudian mengambil posisi persiapan tidur.  Sampailah kami semua di pulau Kangean dengan tepatnya di Kecamatan Arjasa. Kami bermalam di rumah singga milik dokter yang bertugas di Puskesmas Kangean dengan fasilitas yang sangat nyaman.

Hari pertama kami berkegiatan dengan bidan dan kader di pendopo kecamatan Arjasa membahas seputar posyandu, dan pemberian makan bayi dan anak, serta layanan kesehatan ibu hamil dengan materi tambahan pijat ibu hamil. Hari ke-dua, kami melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan remaja di SMA 1 Arjasa mengenai bahaya Narkotika, Psikotropika, dan obat-obatan terlarang (narkoba), infeksi menular seksual (IMS) dan anemia.

Keesokan harinya tepat di hari ke 3, kami bersama-sama menuju pulau Mamburit untuk melakukan skrining dan transect walk. Menantang sekaligus berdebar karena infonya pulau Mamburit memiliki hamparan pasir yang indah. Saat di perjalanan ke pulau Mamburit, pemandangan yang indah, dan sinar matahari yang menerpa beningnya air laut sungguh elok dan memukau. Begitu kami sampai di pulau Mamburit, yang pertama kali terlihat oleh mata ini adalah parisnya yang putih dan pohon sukun yang besar di sepanjang mata memandang. Sampailah kami di lokasi skrining di salah satu posyandu dengan desain rumah panggungnya. Semua telah dipersiapkan sedemikian ruma hingga waraganya pun turut serta aktif dalam kegiatan tersebut. Rekan bidan, kader, kepala desa, serta tokoh masyarakat lainya turut hadir dengan pembawaan mereka yang sangat ramah, cekatan, dan kompak membuat kami merasa nyaman dan diterima sebagai bagian dari tim mereka. Selesai pelaksanaan skrining kami dijamu dengan berbagai hidangan laut, beberapa macam sambal, dan kelapa muda. Ada sambal khas di daerah tersebut yang saya baru rasakan yaitu sambal kedondong. Hmmmm sangat memanjakan lidah saat berbaur dengan nasi dan ikan yang ada. Alhamdulillah… saya nikmati segala sajian yang ada saat itu mulai dari makanan, minuman, hingga pemandangan alamnya yang membuat saya merasa sedang tamasya. Didukung dengan keceriaan semua rekan-rekan tim dengan candaan yang renyah membuat suasana semakin hangat. Tak lama kemudia, kami lanjutkan pada kegiatan berikutnya yakni transect walk. Kami menyusuri hampir setengah dari pulau Mamburit dengan memecah tim menjadi dua kelompok berbeda yang nantinya bertemu di mercusuar. Kami dapati sampah menjadi salah satu permasalahan yang tersebar di pulau Mamburit. Sepanjang perjalanan belum kami dapati pengelolaan sampah atau mungkin tempat pembuangan sampah sementara atau bahkan tempat pembuangan sampah akhir di sana. Di sepanjang perjalanan kami dapati pola adanya pohon sukun yang besar hingga yang kecil. Berdasarkan keterangan dari warga yang saya dan tim dapatkan, bahwa buah sukun di Pulau Mamburit adalah primadona karena rasanya yang manis dan lebih lezat daripada di tempat lain. Mereka menyatakan bahwa saat panen sukun, maka warga Mamburit akan mengolah sukun tersebut menjadi beberpa macam camilan terutama keripik untuk dijual ke luar pulau. Namun dari keterangan beberapa warga yang kami tanya terkait makanan, kami dapatkan data bahwasannya keragaman pangan pada masing-masing keluarga masih jarang yang mengkonsumsi tahu dan tempe. Sedangkan konsumsi buah dan sayur juga belum semua warga yang mengkonsumsi. Sebagian besar mereka mengkonsumsi ikan dan nasi. Berkaitan dengan frekuensi makan, beberapa keterangan mengarahkan bahwa frekuensi makan mereka tidak tentu. Kadang makan 3 kali kadang juga hanya sekali sehari tergantung hasil pancing ikan di hari tersebut. Sepanjang jalan saya tidak menemukan pasar, namun saya sempat bertanya pada warga bagaimana mereka mendapatkan bahan makanan? Mereka mencoba menjelaskan bahwa ada tukang sayur yang datang dari pulau kangean dan merekalah yang membawakan bahan pangan ke pulau Mamburit. Sedangkan untuk ikan, mereka mengandalkan hasil tangkapan ikan pada hari tersebut. Sebagian ikan mereka olah menjadi bakso ikan untuk dijadikan lauk, kudapan, atau campuran sayur. Namun untuk pengganti nasi misalkan nasi thiwul ataupun nasi jagung belum ada yang mengkonsumsi di sana. Hujan disertai dengan angin kencang tiba-tiba dating dan mengingatkan pada peristiwa tsunami. Seketika saya melihat dan memantau arah angin sambal bersiap-siap jika saja berpotensi tsunami, maka saya harus segera mencari titik mana tempat berlindung yang tepat untuk saya dan tim. Rekan-rekan yang panik, menuju salah satu rumah warga untuk berlindung. Namun saya masih di luar mengawasi pergerakan arah angin. Alhamdulillah arah angin saat itu tepat menerpa dari sisi kiri arah pulau yang berseberangan yaitu pulau kangean. Sehingga kemungkinan tsunami tidak sebesar bila langsung bertatapan dengan Samudra atau laut lepas. Rasa lega dan was-was bercampur saat itu. Tak lama kemudian, hujan pun reda dan kami melanjutkan perjalanan transect walk. Saat itulah kami menyadari bahwa sepanjang perjalanan tidak semua rumah memiliki selokan/drainase untuk pembuangan limbah cair rumah tangga mereka. Sampah bercampur air dan limbah cair pun menjadi pemandangan di perjalanan kami saat itu. Kemudian saya berfikir bagaimana dengan sumber air mereka yang sebagian besar dengan sumur bila limbah cair dan padat tak teratasi?  Tak hanya sampai di situ, saya pun mencoba menarik benang merah terkait sampah, limbah, potensi kerawanan pangan yang ada di sana.

Akhirnya sampailah kami di mercusuar sebagai titik temu antara dua tim transect walk. Kami mengambil beberapa foto untuk mengabadikan momen indah di Mamburit. Saat itu saya menemukan ganggang laut yang berwarna coklat keemasan, dengan beberapa daun yang panjang tergeletak di bibir pantai. Kemudian kutanyakan pada salah satu kader yang mendampingi kami dan beliau berkata bahwa itu adalah salah satu produk laut yang sering dikumpulkan oleh warga untuk dijemur dan kemudian dikirimkan ke kangean sebagai bahan kosmetik. Sambil berjalan menuju Pelabuhan kapal tongkang kami berjalan menyusuri bentangan pasir putih, sambil menikmati pemandangan. Saat itu imajinasi saya pun melayang membayangkan jika saja di Mamburit ada pengolahan limbah yang dapat diandalkan, jika saja warga Mamburit memiliki system panen sukun yang berkelanjutan untuk dijadikan sumber pendapatan tetap, jika saja produk sukun tersebut memiliki ijin edar, kemasan, dan dilengkapi dengan variasi produk olahan yang memikat, jika saja sektor pertanian sayur, buah, dan bahan makanan lain dapat dijadikan sumber bahan pangan warga pulau Mamburit, jika saja ada dukungan sektor industry bakso ikan khas Mamburit, atau mungkin sosis ikan Mamburit yang dapat diedarkan hingga ke daerah lain, jika saja ada sebuah fasilitas resort di sana yang memungkinkan wisatawan untuk mudah mengakses pulau tersebut dan menikmati keindahan pantainya… jika jika dan jika… Yah begitulah imajinasi dari seorang yang terlalu banyak mimpi meski sering kurang tidur.

Tiba-tiba lamunan ini pecah saat kami telah sampai di kapal tongkang. Kebetulan sekali di dalam kapal yang kami naiki ada tukang sayur yang kembali dari pulau Mamburit menuju ke pulau kangean. Sambil membeli es lilin kacang hijau, saya menyapanya sambal memantau bahan makanan yang dibawa oleh beliau. Masih ada beberapa bahan makanan yang tersisa yaitu beberapa macam bumbu, tempe, dan sayuran. Jika warga Mamburit tidak ada sumber makanan sayur dan buah sendiri, dan hanya mengandalkan dari tukang sayur, apakah sayur yang dibawa beliau ini memang sangat banyak sehingga masih tersisa? Atau daya beli yang kurang memadahi? Ah… entahlah, sesuatu tidak dapat disimpulkan tanpa ada data yang akurat dan analisa yang tepat.

Sayapun menikmati es lilin kacang hijau sambal berfikir, betapa masalah kesehatan masyarakat berkaitan dengan kesehatan lingkungan, kerawanan pangan di Mamburit begitu kompleks. Seketika sayapun mengingat hasil diskusi dengan kader yang ada di Mamburit bahwa sekolah yang ada di pulau itu hanyalah sekolah SD. Anak-anak yang melanjutkan sekolah ke SMP harus menempuh perjalanan dengan kapal tongkang setiap harinya menuju ke pulau kangean. Ada rasa haru, dan ada juga rasa bangga bercampur menajadi satu. Mereka yang menempuh perjalanan sejauh itu, dengan kondisi rumah yang sedemikian itu, subhanallah… betapa besar tekad mereka untuk berjuang dalam mencari ilmu. Sungguh tak pantas bagi diri ini untuk mengeluh saat kemudahan mencari ilmu menjadi nikmat meski dengan konsekuensi banyak deadline, banyak tugas, dan lain sebagainya.

Sambil memandangi laut dan awan yang menyatu di ujung pandangan, saya membayangkan betapa masalah kesehatan masyarakat tidak dapat diselesaikan hanya dari satu sisi saja. Butuh keterlibatan berbagai sektor di dalamnya mulai dari sektor industri, perdagangan, teknologi, transportasi, pendidikan, pertanian, pariwisata, kesehatan, dan berbagai sektor lainnya.

Yah, begitulah rasa syukur, haru, bercampur bangga menyatu dengan keceriaan tim kami yang kompak, ceria, dan saling mendukung. Bukan tanpa alasan saya hadir di pulau tersebut selain, belajar, belajar, dan berusaha bermanfaat untuk kebaikan.

 

Ditulis oleh Nur Mufida W.S.

Leave a Reply